Serpihan Memori

POSTED ON: Minggu, 30 September 2012 @ 10.55 | 0 comments


       Kau terdiam disana, mencoba untuk merangkai kembali kata-kata yang kau perlukan untuk tugasmu. Ha! Kau terlihat bingung, terlihat ragu. Kenapa, hm? Bukankah kau jago dalam merangkai kalimat, menjadi buket tulisan, seperti ketika kau mengerjakan soal-soal esai di sekolah? Seharusnya kau bisa saja langsung menuliskan detil pengalamanmu selama 4 hari berada di sana, bukan? 

      Yah, kau merasa dirimu bukanlah tipe orang yang pintar dalam merangkai kata-kata menjadi kalimat yang runtut… Tapi, hei, lihatlah jam, lihatlah kalender yang tergantung di kamarmu itu! Waktu tidak akan pernah adil bagi siapapun, termasuk buat orang-orang yang kelimpungan seperti dirimu. Ataukah kau hanya menganggap dua benda tadi ornamen untuk memenuh-menuhi kamar?

      Kau menghela nafas berat, merasa kesusahan dengan semua tugas ini. Belum ditambah dengan ulangan atau tugas lain. Maka dengan sangat terpaksa kau mencobanya. Setelah sampai di rumah orangtua angkatmu, kau teringat bahwa kau berbincang-bincang dengan sang nenek, sang kakek yang kau tinggali. Yah, kau memang memiliki waktu yang menyenangkan dengan mereka selama bermalam di sana. Dan kau juga sedikit bersyukur bukan, karena ternyata di sana kau dan anak-anak yang mengikuti live in tidak benar-benar hanya berdiam diri di rumah. Banyak acara desa yang bisa kau lihat. Apalagi kau juga suka berjalan-jalan untuk membunuh waktu.

      Tiba-tiba perutmu berbunyi, berdemonstrasi meminta untuk diisi. Ngomong-ngomong soal perut, tiba-tiba kau teringat sesuatu: makanan yang disuguhkan di rumahmu tinggal sangatlah ENAK! Kau teringat ketika pertama kali kau tiba di rumah itu, sang nenek menyuguhkan kepadamu dan teman serumahmu keripik singkong yang namanya… Satelit. Kau terkekeh pelan, masih tidak percaya keripik yang terlihat sangatlah simpel itu; hanya keripik singkong biasa; bisa memiliki nama sekeren itu.

      Tapi setidaknya nama dan rasanya sama-sama keren. Sampai sekarang saja kau masih menganggap keripik singkong itu adalah salah satu nirwana dunia. Mungkin terdengar berlebihan, tapi memang begitu keadaannya. Dan oh, ya ampun, masakan sang nenek! Memang, tidak terlihat semewah masakan yang kau selalu makan di rumah, tapi selalu terasa lezat, baik sebelum mengisi hari-harimu disana yang begitu berwarna namun juga melelahkan, ataupun juga sebagai menu penutup hari yang manis.

      Kau juga melihat bagaimana kehidupan disana, walaupun terlihat rendah hati dan simpel, namun tetap menunjukkan warna-warna tersendiri. Ingat kan, bagaimana acara-acara adat disana? Saat kau dan anak-anak yang lain mengikuti acara long march keliling desa? Atau… Mungkin saja acara dangdutan pada malam pertamamu di sana?

      Eh. Ngomong-ngomong, apakah kau menjadi lebih mandiri di sana? Atau dapat pengalaman baru nan unik? Kau selalu mengharapkan agar menjadi lebih mandiri dan bisa mengatur waktu setiap kali ada guru yang menanyakan kepadamu, apa harapanmu sehabis kembali dari desa Baran itu. Yah, apa yang kuingat memang kau mendapatkan banyak pengalaman baru. Ingat kan, ketika kau mengunjungi rumah tetangga sebelah, Pak Supri? Kau melihat kebelakang ruang dapur, kau melihat dia beternak ayam dalam jumlah yang besar, sang tuan rumah sendiri sampai lupa berapa persisnya jumlah ayam yang dia punya. Bahkan ada anak ayam yang baru menetas, dan kau merasa kau ingin untuk membawa pulang saja salah satu anak ayam yang bulunya begitu lebat, seperti hamster, dan lembut untuk dipegang. Kau juga mencuci piring-piring kotor bukan dengan spons seperti yang biasa kau lakukan di rumah, tapi pakai robekkan sabut kelapa. Memang, terkadang kau merasa jijik ketika kau harus menggunakannya karena terkadang menusuk jarimu dan juga tidak begitu bersih, namun kau tetap merasa nyaman dengan semua itu.

      Kadang-kadang sang kakek ataupun sang nenek mengeluh, daerah mereka itu kekurangan air. Hmm… yah, kubilang memang air yang bersih memang masih terasa susah… Aku bisa merasakan adanya minyak dalam air tersebut, sebersih apapun itu. Lalu, masalah kapel untuk ibadah yang jauh. Ya, mereka memang harus berjalan melewati jalan raya dan tanjakan yang tinggi. Aku mengerti itu. Dan kadang-kadang… Sang nenek juga bercerita padaku, kalau cucunya yang besar, Rossa, itu suka malas, tidak mau membantu pekerjaannya. Mana dia perempuan, lagi! Timpal sang nenek setiap kali dia mengeluh padaku. Ya, aku ingin membantu mereka, permasalahan mereka. Namun, apa yang bisa kubantu? Aku tidak bisa begitu mengetahui kehidupan mereka dengan begitu dalam…. Ah, coba saja kalau aku bisa tinggal disana lebih lama… Oh, di desa itu menurutku masih ada perbedaan pendapat dalam agama. Ya, memang dari apa yang selama ini kuketahui, seberapa akrabnya dan terbuka pikirannya suatu masyarakat ya, pasti sesekali juga terdapat perbedaan pendapat satu sama lain. Memang, manusia…

      Tapi, kau tahu? Orang-orang seperti ini, kau akan sering melihat mereka untuk tersenyum. Pernah mendengar pepatah, “Orang dengan senyuman yang terindah, mungkin saja telah memendam kesedihan yang paling sangat.”? Aneh. Kita, hidup di daerah kota, bergelimangan pemandangan mewah nan glamor, dibebani dengan berbagai tugas sekolah ataupun kantor dan juga dengan ritme kehidupan yang dinamis dan cepat, kita sering memasang raut wajah tanpa ekspresi, layaknya memakai topeng. Namun, orang-orang di desa, mereka masih harus memikirkan tentang bagaimana nasib sekolah generasi muda, masalah finansial keluarga… Namun mereka ramah, dan selalu tersenyum, mengenal satu sama lain, dan terakhir… bersikap positif dan percaya. Memang, kita yang tinggal di sisi tempat yang bagus, memang terkadang menaruh rasa curiga pada orang, bukan? Akuilah itu. Kita takkan mempercayai orang segampang itu. Mereka, orang-orang desa itu… Selalu percaya, berpikir bahwa dari setiap bayangan tergelap pasti ada sisi yang terlihat terang.

      Dan kau sepertinya memang betah berada di sana, kan? Walaupun dengan semua kekurangannya… Kau juga melihat sisi lain kehidupan orang-orang yang bukan berada di area kota. Kau juga melihat bagaimana cara orang-orang disana bersikap rendah hati dan ramah, bahkan pada kau, yang merupakan orang yang benar-benar asing bagi mereka. Kau tahu… Pengalaman paling indah di dunia ini tidaklah harus pengalaman yang terkesan megah, ataupun yang mewah, glamor, dan terkesan mahal. Simpel, namun penuh dengan keakraban. Pengalaman seperti ini terkadang bisa menyampaikan seribu satu pesan tak terbantahkan kepada dirimu sendiri. Membuat dirimu tertohok, bagaimana kehidupanmu itu sudah sangat LAYAK! Camkan itu! Kamu-kamu itu… Selalu saja, mengatakan kehidupan diri sendiri itu biasa saja, masih ada yang kurang! Tidakkah itu suatu bentuk penghinaan tersendiri bagi masyarakat yang misalnya saja masih terbelakang atau miskin? Seakan-akan secara tidak langsung kamu menyatakan betapa ‘kaya’nya dirimu dibandingkan dengan mereka, ‘menertawakan’ nasib mereka secara tidak langsung…


Astrid Emeralda/ XII-IPB/ 4

← Older / back up / Newer →
Blog Anak Bahasa