Kurang Panjang (?)

POSTED ON: Minggu, 30 September 2012 @ 09.45 | 0 comments

      Aku hanya bisa berputus asa membaca catatanku semasa Live In. Makan, tidur, ke pasar, jalan pagi, jaga warung, kupas wortel, kupas bawang, kupas kacang, kupas telo..... Kenapa daftar kegiatan yang kulakukan di sana hanya terdiri dari kegiatan sehari-hari biasa dan kupas-mengupas? Mana pengalaman-pengalaman yang menstimulasi instrospeksi diri dan refleksi? Apa pula yang harus kuperas menjadi "karya sastra" untuk tugas Kewarganegaraan? 
      Kubaca lebih lanjut catatan minimalisku. "Mengembang. Karena ketika air mengenai kertas, ...eh, ketika kertas mengenai air, kertas akan mengembang karena air mengembangkan kertas.." Oh, ini jawaban seorang pelajar SD dalam sebuah kuis televisi yang kutonton di sana. Ia ditanya apa yang ia pikir akan terjadi jika air mengenai kertas, mengembang atau mengerut. Eniwei, jawabannya kucatat karena merupakan contoh menakjubkan noneksistensi logika, pola pikir melingkar dan kemubaziran kata tingkat canggih.. Dengan kata lain, dalam memunculkan inspirasi bagi tugas ini... Gak. Pen. Ting.
     Aku membalik kertas itu dan menemukan beberapa coretan tidak relevan lagi serta.... nomor telepon Bu Lasmi, yang kuminta sesaat sebelum kepulangan ke BSD. Aku ingat sekali hari terakhir, pagi terakhirku di Ngestirejo. Kami sudah siap berangkat ke Wonosari pada pukul setengah sembilan. Delapan anak perempuan (plus Pak Teddy) dieliminasi sekaligus pada minggu pertama mengakibatkan semua orang merasa tak rela melepas kepergian mereka. Profil Facebook dan alamat email dicatat, pin BB ditukar. Aku duduk dan menguap. Satu-satunya hal yang kurasa perlu kubawa pulang, nomor handphone Bu Lasmi, ibuku selama empat hari sebelumnya, sudah kudapatkan. 
     Pemilik nomor yang bersangkutan sedang mengobrol dengan Bu Rina, nyonya rumah di mana kami sedang berkumpul. Sepertiku, ia juga hanya menunggu saatnya kami harus pergi, momen yang ditunda-tunda pengucapan selamat tinggal yang tampaknya tidak akan selesai dengan segera. Orang-orang senang sekali memperpanjang perpisahan, padahal mereka sendiri yang suka menggemborkan betapa beratnya berpisah dengan yang dikasihi, dan seterusnya, dan seterusnya.. Mungkin mereka memang masochist secara alami. 
     Aku ingin menggaruk-garuk Bruno lagi, tapi tadi setelah mengelusnya selamat tinggal, sudah kucuci tanganku. Aku enggan mencuci tangan lagi karena jalan ke kamar mandi lumayan kotor. Lagipula, nanti aku tak akan bisa berhenti menggaruknya. Yang menjengkelkan, saat bus kami baru akan berangkat, anjing yang susah payah kudapatkan kepercayaannya itu malah tidur! Di siang bolong dengan keempat tungkai mencuat ke samping, tidur!
     Tunggu. Kenapa aku jadi membahas Bruno? Maaf, pembaca sekalian, saya out of topic. Mari kita kembali ke topik asal, Bu Lasmi. Tegar, pintar, sabar, praktis, dan sepertiku sendiri, tidak kelewat sentimental. Tidak heran dari tadi ia tidak terbawa emosi yang lain dan tidak meneteskan sebulir air mata pun. Tapi Anda perlu menjadi buta secara mental untuk tidak melihat betapa... betapa... Duh, apa katanya? Penyayang? Perasa? Perhatian? Ya itulah kurang lebih. Betapa perhatian Bu Lasmi itu terhadap kami, domba-domba nyasar ini. Mundur sedikit ke waktu lebih awal di hari itu: Bu Lasmi melambaikan tangan ke arah kami di depan rumahnya. Selagi berjalan, aku terus menengok ke belakang. Kulihat Bu Lasmi masih berdiri di luar dan menyaksikan kami berjalan menjauh. Ia berjalan ke ujung jalan supaya bisa terus melihat kami, lalu sedikit-sedikit bergerak maju.. sampai akhirnya ia memutuskan untuk mengikuti kami ke rumah Bu Rina. Hehe. Ketika kami akhirnya naik bus dari rumah Bu Rina, aku menunggu sampai saat terakhir sebelum memeluknya untuk terakhir kali. Pegangannya erat dan dan dadanya gemetar penuh emosi. Itulah satu-satunya saat beliau lepas kontrol atas emosinya. Kupikir itu benar-benar terakhir kali akan melihatnya, karena ia sudah berkata kalau ia tidak akan menemani Bu Rina & Co. mengantar kami ke tempat rendezvous dengan kelompok Pak Frans, di rumah Pak Sakim. Maka ketika aku melihatnya berdiri dengan Bu Rina di depan rumah Pak Sakim, aku merasa kaget. Ternyata beliau ikut Bu Rina naik mobilnya mendahului kami ke situ. Saat itu bus kami sudah dijejal melewati kapasitas seharusnya, jadi aku hanya bisa melambai dari jendela. Anehnya, momen itulah yang mungkin paling menyenangkan bagiku selama Live In ini. Saat Bu Lasmi, setelah mengulur-ulurkan leher untuk melihat ke dalam bus, akhirnya melihatku yang duduk di sisi jauh dan wajahnya tampak lega dan berseri. 
     Sepanjang perjalanan pulang tatapanku lengket ke jendela di sampingku, dengan giat merekam pemandangan bukit-bukit batu yang lewat, sementara anak-anak lain heboh meng-update pengalaman satu sama lain. Biarkan saja mereka asyik mengobrol. Bagiku memahat tempat itu dalam ingatanku --yang tidak begitu bagus, sayangnya-- lebih penting. Obrolan bisa dilakukan kapan saja. Lagipula, kenapa mengobrol jika ada bukit-bukit batu tepat di sebelahmu? Mereka jauh lebih menarik. 
     Ketika bus dari Wonosari berangkatlah baru aku mengirim SMS ke Bu Lasmi, niatnya keep in contact gitu loh. Tapi tiap membalas, selalu SMS Bu Lasmi terasa bernada pengakhiran. Mungkin hanya terasa seperti itu karena aku mengharapkan masih berbalas pesan dengannya di kemudian hari. Toh, saat kubaca lagi sekarang, biasa saja, tuh. 
     Lihat kan? Tanpa rong-rongan sekolah aku pun sudah berinisiatif tidak melupakan masa Live In. Tugas-tugas menulis seputar Live In malah berefek sebaliknya. Jadi bosan menulis soal Live In. Sudah diperas, dipuntir dan diperas lagi kisah itu sampai sumurnya kering. Mau nulis apa lagi? Inspirasiku mampet.
     Tapi sebelum tulisan ini diakhiri, aku diwajibkan menyelipkan refleksi terlebih dahulu. Para warga di desa (dusun?) Ngestirejo, dulunya bagian dari Tepus, menerima kami semua dengan teramat hangat (yaaa, kecuali yang setiap malam nyenterin tikus). Bu Lasmi saja bahkan baru diberi tahu tentang kedatangan kami pada siang hari sebelum kami sampai di rumahnya. Sebab itu beliau terus meminta maaf karena hanya bisa menyediakan seadanya. Yah begitulah, katanya, di desa memang semua apa adanya. Aku hanya dapat menjawab "Gak pa-pa, Bu", karena bingung untuk mengutarakan antara 1) justru itu yang dimauin sekolah; 2) masakan "apa adanya" ibu aja sudah enak sekali; 3) apa adanya itu sudah lebih dari cukup dan lebih dari yang bisa aku minta.
     Baru tinggal di rumahnya selama empat hari empat malam, kami sudah --dengan kata-kata Bu Lasmi sendiri-- dianggap anaknya sendiri. Sampai-sampai sebelum pulang aku masih diberi wejangan, meskipun kebanyakan isinya adalah komplain tentang betapa singkatnya persinggahan kami di sana. Biasanya aku membutuhkan waktu satu tahun untuk mengenal seseorang dengan baik. Padahal seseorang itu umumnya teman sekelas yang dijumpai setiap hari. Aku belum mengenal Bu Lasmi dengan baik. Bu Lasmi juga pasti masih mengiraku sebagai anak pendiam yang alim..... Tapi pertemuan yang hanya berlangsung 1/73 bagian dari satu tahun itu mengajarkanku bahwa walaupun mengenal seseorang memakan waktu yang lama, menumbuhkan rasa sayang kepada mereka tidak.
Ratna J.

← Older / back up / Newer →
Blog Anak Bahasa