Serpihan Memori

POSTED ON: Minggu, 30 September 2012 @ 10.55 | 0 comments


       Kau terdiam disana, mencoba untuk merangkai kembali kata-kata yang kau perlukan untuk tugasmu. Ha! Kau terlihat bingung, terlihat ragu. Kenapa, hm? Bukankah kau jago dalam merangkai kalimat, menjadi buket tulisan, seperti ketika kau mengerjakan soal-soal esai di sekolah? Seharusnya kau bisa saja langsung menuliskan detil pengalamanmu selama 4 hari berada di sana, bukan? 

      Yah, kau merasa dirimu bukanlah tipe orang yang pintar dalam merangkai kata-kata menjadi kalimat yang runtut… Tapi, hei, lihatlah jam, lihatlah kalender yang tergantung di kamarmu itu! Waktu tidak akan pernah adil bagi siapapun, termasuk buat orang-orang yang kelimpungan seperti dirimu. Ataukah kau hanya menganggap dua benda tadi ornamen untuk memenuh-menuhi kamar?

      Kau menghela nafas berat, merasa kesusahan dengan semua tugas ini. Belum ditambah dengan ulangan atau tugas lain. Maka dengan sangat terpaksa kau mencobanya. Setelah sampai di rumah orangtua angkatmu, kau teringat bahwa kau berbincang-bincang dengan sang nenek, sang kakek yang kau tinggali. Yah, kau memang memiliki waktu yang menyenangkan dengan mereka selama bermalam di sana. Dan kau juga sedikit bersyukur bukan, karena ternyata di sana kau dan anak-anak yang mengikuti live in tidak benar-benar hanya berdiam diri di rumah. Banyak acara desa yang bisa kau lihat. Apalagi kau juga suka berjalan-jalan untuk membunuh waktu.

      Tiba-tiba perutmu berbunyi, berdemonstrasi meminta untuk diisi. Ngomong-ngomong soal perut, tiba-tiba kau teringat sesuatu: makanan yang disuguhkan di rumahmu tinggal sangatlah ENAK! Kau teringat ketika pertama kali kau tiba di rumah itu, sang nenek menyuguhkan kepadamu dan teman serumahmu keripik singkong yang namanya… Satelit. Kau terkekeh pelan, masih tidak percaya keripik yang terlihat sangatlah simpel itu; hanya keripik singkong biasa; bisa memiliki nama sekeren itu.

      Tapi setidaknya nama dan rasanya sama-sama keren. Sampai sekarang saja kau masih menganggap keripik singkong itu adalah salah satu nirwana dunia. Mungkin terdengar berlebihan, tapi memang begitu keadaannya. Dan oh, ya ampun, masakan sang nenek! Memang, tidak terlihat semewah masakan yang kau selalu makan di rumah, tapi selalu terasa lezat, baik sebelum mengisi hari-harimu disana yang begitu berwarna namun juga melelahkan, ataupun juga sebagai menu penutup hari yang manis.

      Kau juga melihat bagaimana kehidupan disana, walaupun terlihat rendah hati dan simpel, namun tetap menunjukkan warna-warna tersendiri. Ingat kan, bagaimana acara-acara adat disana? Saat kau dan anak-anak yang lain mengikuti acara long march keliling desa? Atau… Mungkin saja acara dangdutan pada malam pertamamu di sana?

      Eh. Ngomong-ngomong, apakah kau menjadi lebih mandiri di sana? Atau dapat pengalaman baru nan unik? Kau selalu mengharapkan agar menjadi lebih mandiri dan bisa mengatur waktu setiap kali ada guru yang menanyakan kepadamu, apa harapanmu sehabis kembali dari desa Baran itu. Yah, apa yang kuingat memang kau mendapatkan banyak pengalaman baru. Ingat kan, ketika kau mengunjungi rumah tetangga sebelah, Pak Supri? Kau melihat kebelakang ruang dapur, kau melihat dia beternak ayam dalam jumlah yang besar, sang tuan rumah sendiri sampai lupa berapa persisnya jumlah ayam yang dia punya. Bahkan ada anak ayam yang baru menetas, dan kau merasa kau ingin untuk membawa pulang saja salah satu anak ayam yang bulunya begitu lebat, seperti hamster, dan lembut untuk dipegang. Kau juga mencuci piring-piring kotor bukan dengan spons seperti yang biasa kau lakukan di rumah, tapi pakai robekkan sabut kelapa. Memang, terkadang kau merasa jijik ketika kau harus menggunakannya karena terkadang menusuk jarimu dan juga tidak begitu bersih, namun kau tetap merasa nyaman dengan semua itu.

      Kadang-kadang sang kakek ataupun sang nenek mengeluh, daerah mereka itu kekurangan air. Hmm… yah, kubilang memang air yang bersih memang masih terasa susah… Aku bisa merasakan adanya minyak dalam air tersebut, sebersih apapun itu. Lalu, masalah kapel untuk ibadah yang jauh. Ya, mereka memang harus berjalan melewati jalan raya dan tanjakan yang tinggi. Aku mengerti itu. Dan kadang-kadang… Sang nenek juga bercerita padaku, kalau cucunya yang besar, Rossa, itu suka malas, tidak mau membantu pekerjaannya. Mana dia perempuan, lagi! Timpal sang nenek setiap kali dia mengeluh padaku. Ya, aku ingin membantu mereka, permasalahan mereka. Namun, apa yang bisa kubantu? Aku tidak bisa begitu mengetahui kehidupan mereka dengan begitu dalam…. Ah, coba saja kalau aku bisa tinggal disana lebih lama… Oh, di desa itu menurutku masih ada perbedaan pendapat dalam agama. Ya, memang dari apa yang selama ini kuketahui, seberapa akrabnya dan terbuka pikirannya suatu masyarakat ya, pasti sesekali juga terdapat perbedaan pendapat satu sama lain. Memang, manusia…

      Tapi, kau tahu? Orang-orang seperti ini, kau akan sering melihat mereka untuk tersenyum. Pernah mendengar pepatah, “Orang dengan senyuman yang terindah, mungkin saja telah memendam kesedihan yang paling sangat.”? Aneh. Kita, hidup di daerah kota, bergelimangan pemandangan mewah nan glamor, dibebani dengan berbagai tugas sekolah ataupun kantor dan juga dengan ritme kehidupan yang dinamis dan cepat, kita sering memasang raut wajah tanpa ekspresi, layaknya memakai topeng. Namun, orang-orang di desa, mereka masih harus memikirkan tentang bagaimana nasib sekolah generasi muda, masalah finansial keluarga… Namun mereka ramah, dan selalu tersenyum, mengenal satu sama lain, dan terakhir… bersikap positif dan percaya. Memang, kita yang tinggal di sisi tempat yang bagus, memang terkadang menaruh rasa curiga pada orang, bukan? Akuilah itu. Kita takkan mempercayai orang segampang itu. Mereka, orang-orang desa itu… Selalu percaya, berpikir bahwa dari setiap bayangan tergelap pasti ada sisi yang terlihat terang.

      Dan kau sepertinya memang betah berada di sana, kan? Walaupun dengan semua kekurangannya… Kau juga melihat sisi lain kehidupan orang-orang yang bukan berada di area kota. Kau juga melihat bagaimana cara orang-orang disana bersikap rendah hati dan ramah, bahkan pada kau, yang merupakan orang yang benar-benar asing bagi mereka. Kau tahu… Pengalaman paling indah di dunia ini tidaklah harus pengalaman yang terkesan megah, ataupun yang mewah, glamor, dan terkesan mahal. Simpel, namun penuh dengan keakraban. Pengalaman seperti ini terkadang bisa menyampaikan seribu satu pesan tak terbantahkan kepada dirimu sendiri. Membuat dirimu tertohok, bagaimana kehidupanmu itu sudah sangat LAYAK! Camkan itu! Kamu-kamu itu… Selalu saja, mengatakan kehidupan diri sendiri itu biasa saja, masih ada yang kurang! Tidakkah itu suatu bentuk penghinaan tersendiri bagi masyarakat yang misalnya saja masih terbelakang atau miskin? Seakan-akan secara tidak langsung kamu menyatakan betapa ‘kaya’nya dirimu dibandingkan dengan mereka, ‘menertawakan’ nasib mereka secara tidak langsung…


Astrid Emeralda/ XII-IPB/ 4

Kurang Panjang (?)

POSTED ON: @ 09.45 | 0 comments

      Aku hanya bisa berputus asa membaca catatanku semasa Live In. Makan, tidur, ke pasar, jalan pagi, jaga warung, kupas wortel, kupas bawang, kupas kacang, kupas telo..... Kenapa daftar kegiatan yang kulakukan di sana hanya terdiri dari kegiatan sehari-hari biasa dan kupas-mengupas? Mana pengalaman-pengalaman yang menstimulasi instrospeksi diri dan refleksi? Apa pula yang harus kuperas menjadi "karya sastra" untuk tugas Kewarganegaraan? 
      Kubaca lebih lanjut catatan minimalisku. "Mengembang. Karena ketika air mengenai kertas, ...eh, ketika kertas mengenai air, kertas akan mengembang karena air mengembangkan kertas.." Oh, ini jawaban seorang pelajar SD dalam sebuah kuis televisi yang kutonton di sana. Ia ditanya apa yang ia pikir akan terjadi jika air mengenai kertas, mengembang atau mengerut. Eniwei, jawabannya kucatat karena merupakan contoh menakjubkan noneksistensi logika, pola pikir melingkar dan kemubaziran kata tingkat canggih.. Dengan kata lain, dalam memunculkan inspirasi bagi tugas ini... Gak. Pen. Ting.
     Aku membalik kertas itu dan menemukan beberapa coretan tidak relevan lagi serta.... nomor telepon Bu Lasmi, yang kuminta sesaat sebelum kepulangan ke BSD. Aku ingat sekali hari terakhir, pagi terakhirku di Ngestirejo. Kami sudah siap berangkat ke Wonosari pada pukul setengah sembilan. Delapan anak perempuan (plus Pak Teddy) dieliminasi sekaligus pada minggu pertama mengakibatkan semua orang merasa tak rela melepas kepergian mereka. Profil Facebook dan alamat email dicatat, pin BB ditukar. Aku duduk dan menguap. Satu-satunya hal yang kurasa perlu kubawa pulang, nomor handphone Bu Lasmi, ibuku selama empat hari sebelumnya, sudah kudapatkan. 
     Pemilik nomor yang bersangkutan sedang mengobrol dengan Bu Rina, nyonya rumah di mana kami sedang berkumpul. Sepertiku, ia juga hanya menunggu saatnya kami harus pergi, momen yang ditunda-tunda pengucapan selamat tinggal yang tampaknya tidak akan selesai dengan segera. Orang-orang senang sekali memperpanjang perpisahan, padahal mereka sendiri yang suka menggemborkan betapa beratnya berpisah dengan yang dikasihi, dan seterusnya, dan seterusnya.. Mungkin mereka memang masochist secara alami. 
     Aku ingin menggaruk-garuk Bruno lagi, tapi tadi setelah mengelusnya selamat tinggal, sudah kucuci tanganku. Aku enggan mencuci tangan lagi karena jalan ke kamar mandi lumayan kotor. Lagipula, nanti aku tak akan bisa berhenti menggaruknya. Yang menjengkelkan, saat bus kami baru akan berangkat, anjing yang susah payah kudapatkan kepercayaannya itu malah tidur! Di siang bolong dengan keempat tungkai mencuat ke samping, tidur!
     Tunggu. Kenapa aku jadi membahas Bruno? Maaf, pembaca sekalian, saya out of topic. Mari kita kembali ke topik asal, Bu Lasmi. Tegar, pintar, sabar, praktis, dan sepertiku sendiri, tidak kelewat sentimental. Tidak heran dari tadi ia tidak terbawa emosi yang lain dan tidak meneteskan sebulir air mata pun. Tapi Anda perlu menjadi buta secara mental untuk tidak melihat betapa... betapa... Duh, apa katanya? Penyayang? Perasa? Perhatian? Ya itulah kurang lebih. Betapa perhatian Bu Lasmi itu terhadap kami, domba-domba nyasar ini. Mundur sedikit ke waktu lebih awal di hari itu: Bu Lasmi melambaikan tangan ke arah kami di depan rumahnya. Selagi berjalan, aku terus menengok ke belakang. Kulihat Bu Lasmi masih berdiri di luar dan menyaksikan kami berjalan menjauh. Ia berjalan ke ujung jalan supaya bisa terus melihat kami, lalu sedikit-sedikit bergerak maju.. sampai akhirnya ia memutuskan untuk mengikuti kami ke rumah Bu Rina. Hehe. Ketika kami akhirnya naik bus dari rumah Bu Rina, aku menunggu sampai saat terakhir sebelum memeluknya untuk terakhir kali. Pegangannya erat dan dan dadanya gemetar penuh emosi. Itulah satu-satunya saat beliau lepas kontrol atas emosinya. Kupikir itu benar-benar terakhir kali akan melihatnya, karena ia sudah berkata kalau ia tidak akan menemani Bu Rina & Co. mengantar kami ke tempat rendezvous dengan kelompok Pak Frans, di rumah Pak Sakim. Maka ketika aku melihatnya berdiri dengan Bu Rina di depan rumah Pak Sakim, aku merasa kaget. Ternyata beliau ikut Bu Rina naik mobilnya mendahului kami ke situ. Saat itu bus kami sudah dijejal melewati kapasitas seharusnya, jadi aku hanya bisa melambai dari jendela. Anehnya, momen itulah yang mungkin paling menyenangkan bagiku selama Live In ini. Saat Bu Lasmi, setelah mengulur-ulurkan leher untuk melihat ke dalam bus, akhirnya melihatku yang duduk di sisi jauh dan wajahnya tampak lega dan berseri. 
     Sepanjang perjalanan pulang tatapanku lengket ke jendela di sampingku, dengan giat merekam pemandangan bukit-bukit batu yang lewat, sementara anak-anak lain heboh meng-update pengalaman satu sama lain. Biarkan saja mereka asyik mengobrol. Bagiku memahat tempat itu dalam ingatanku --yang tidak begitu bagus, sayangnya-- lebih penting. Obrolan bisa dilakukan kapan saja. Lagipula, kenapa mengobrol jika ada bukit-bukit batu tepat di sebelahmu? Mereka jauh lebih menarik. 
     Ketika bus dari Wonosari berangkatlah baru aku mengirim SMS ke Bu Lasmi, niatnya keep in contact gitu loh. Tapi tiap membalas, selalu SMS Bu Lasmi terasa bernada pengakhiran. Mungkin hanya terasa seperti itu karena aku mengharapkan masih berbalas pesan dengannya di kemudian hari. Toh, saat kubaca lagi sekarang, biasa saja, tuh. 
     Lihat kan? Tanpa rong-rongan sekolah aku pun sudah berinisiatif tidak melupakan masa Live In. Tugas-tugas menulis seputar Live In malah berefek sebaliknya. Jadi bosan menulis soal Live In. Sudah diperas, dipuntir dan diperas lagi kisah itu sampai sumurnya kering. Mau nulis apa lagi? Inspirasiku mampet.
     Tapi sebelum tulisan ini diakhiri, aku diwajibkan menyelipkan refleksi terlebih dahulu. Para warga di desa (dusun?) Ngestirejo, dulunya bagian dari Tepus, menerima kami semua dengan teramat hangat (yaaa, kecuali yang setiap malam nyenterin tikus). Bu Lasmi saja bahkan baru diberi tahu tentang kedatangan kami pada siang hari sebelum kami sampai di rumahnya. Sebab itu beliau terus meminta maaf karena hanya bisa menyediakan seadanya. Yah begitulah, katanya, di desa memang semua apa adanya. Aku hanya dapat menjawab "Gak pa-pa, Bu", karena bingung untuk mengutarakan antara 1) justru itu yang dimauin sekolah; 2) masakan "apa adanya" ibu aja sudah enak sekali; 3) apa adanya itu sudah lebih dari cukup dan lebih dari yang bisa aku minta.
     Baru tinggal di rumahnya selama empat hari empat malam, kami sudah --dengan kata-kata Bu Lasmi sendiri-- dianggap anaknya sendiri. Sampai-sampai sebelum pulang aku masih diberi wejangan, meskipun kebanyakan isinya adalah komplain tentang betapa singkatnya persinggahan kami di sana. Biasanya aku membutuhkan waktu satu tahun untuk mengenal seseorang dengan baik. Padahal seseorang itu umumnya teman sekelas yang dijumpai setiap hari. Aku belum mengenal Bu Lasmi dengan baik. Bu Lasmi juga pasti masih mengiraku sebagai anak pendiam yang alim..... Tapi pertemuan yang hanya berlangsung 1/73 bagian dari satu tahun itu mengajarkanku bahwa walaupun mengenal seseorang memakan waktu yang lama, menumbuhkan rasa sayang kepada mereka tidak.
Ratna J.

Pengalaman Live In

POSTED ON: @ 09.28 | 0 comments


Beberapa jam sebelum keberangkatan kami ke Live in, saya masih sibuk merapikan segala keperluan yang mungkin akan saya gunakan saat live in, hingga akhirnya jam menunjukan pukul 2 siang, saya ke sekolah dan anak-anak yang lain sudah duduk rapi membuat barisan. Saya segera bergabung bersama barisan bus saya, seketika saya jadi sangat tidak sabar untuk segera berangkat ke desa. Suster Francisco masih sempat memberikan kata pengantar sebelum kita semua berangkat.

Tepat pukul 3, kami semua berangkat dari sekolah. Total, ada 4 bus yang berangkat. Pada awal-awal perjalanan, kami di bus 1 masih sangat bersemangat teriak-teriak bahkan bernyanyi-nyanyi. Namun, ketika kami sudah sampai di daerah Cikampek, dan ketika langit sudah semakin gelap, tidak sedikit dari kami yang sudah tidur terlelap. Tapi saya sendiri tidak bisa tidur, karena memang tidak terbiasa tidur di dalam bus. Selama perjalanan, saya hanya memperhatikan kanan dan kiri, yang sebenarnya hanya lampu-lampu yang terlihat. Setiap ada pemberhentian, saya selalu turun karena kaki yang sudah mulai terasa pegal. Pada akhirnya, karena terlalu lelah saya berhasil tidur sekitar pukul 3 subuh. Kemudian tiba-tiba ketika saya bangun, saya sudah sampai di Wonosari.

Sesampainya saya di Wonosari, saya segera ke toilet untuk mencuci muka, gosok gigi, dan lain-lain. Pertama kali saya pergi ke toilet, saya agak jijik dengan toiletnya, karena kotor. Namun, terbayang keadaan toilet di desa yang mungkin akan lebih parah dari toilet di Wonosari itu. Setelah saya kembali ke hall Gereja di Wonosari itu, kamu disodori makanan yang sudah dingin. Mau tidak mau saya pun memakannya, karena memang kami semua belum makan pagi. Setelah kami selesai makan, kami membuat barisan sesuai desa yang akan kami tinggali, saya sendiri akan tinggal di desa Tepus. Saat itu juga saya langsung mencari teman serumah saya, Arin. Setelah kami bertemu, kami segera memastikan barang-barang yang telah kami bawa. Dan ternyata semua sudah lengkap.

Ternyata, anak-anak yang akan tinggal di desa Tepus tidak akan naik truk, melainkan bus. Bukan bus bagus seperti yang kami naiki saat perjalanan dari Jakarta ke Wonosari, melainkan bus metromini. Selama perjalanan, lagi-lagi saya menikmati dinginnya udara di daerah itu dah saya pun mulai terkantuk-kantuk. Yang saya tahu, kemudian saya telah sampai di sebuah kapel di desa Tepus. Kami pun segera turun dari bus dan masuk ke dalam kapel. Di dalam kapel, kami mulai dipertemukan dengan orang tua asuh kami. Orang tua asuh saya dan Arin adalah Ibu Sukinah. Setelah selesai acara di kapel, saya segera diajak pulang oleh Ibu Sukinah ke rumahnya. Sesampainya kami di rumah, saya cukup kaget dengan keadaan rumah, karena rumah yang akan saya tinggali ternyata tidaklah buruk. Dan Ibu Sukinah segera menyiapkan makanan untuk kami. Bahkan sebelum kami sempat membereskan barang bawaan kami.

Kemudian kami pun makan, dan ternyata makanannya sangat enak. Setelah makan, saya dan Arin kemudian tidur karena masih lelah pada saat perjalanan. Kami bangun sekitar pukul 5 sore. Dan mulai membantu Ibu Sukinah untuk memasak dan lain-lain. Pada awalnya, Ibu Sukinah tidak mengijinkan kami untuk membantunya, namun saya dan Arin memaksa. Hingga akhirnya ia mengijinkan kami untuk membantunya melakukan kegiatan rumah. Mulai dari memasak, menyuci piring, menyiapkan makanan, memberi makan hewan ternak, hingga pergi ke ladang. Namun kami pergi ke ladang hanya 1 kali, sisanya kami habiskan waktu dengan berbincang-bincang dengan Ibu Sukinah dan anaknya, dan membantunya memasak.

Hal itu terus berulang selama kami berada di desa Tepus. Namun, saya merasakan rasanya tinggal di desa. Dimana antar keluarga memiliki rasa kekeluargaan yang besar satu sama lain. Setiap orang yang ada di desa mengenal satu sama lain. Bahkan tidak jarang ada orang yang bertamu ke rumah Ibu Sukinah, hanya sekedar untuk bertemu dan menanyakan kabar. Beruntung, karena saya dan Arin bisa berbahasa Jawa sedikit banyak. Namun kami meminta Ibu Sukinah untuk mengajarkan kami bahasa Jawa Kromo, dan ternyata sangat sulit.

Kemudian tibalah waktunya  bagi saya dan Arin untuk pulang ke Jakarta. Sehari sebelum kami pulang, kami sudah merasa sangat berat mengingat bahwa kami akan segera pulang. Bahkan Ibu Sukinah pun beberapa kali mengatakan bahwa ia akan merasa kesepian setelah kami pulang. Tidak sekali saya menangis saat teringat bahwa saya akan segera pulang, begitupun Arin. Keesokan harinya, ketika bangun pagi, kami segera menyiapkan barang-barang kami agak tidak ada yang tertinggal. Ibu Sukinah sudah memasakkan makanan untuk kami, dan ia memaksa kami untuk makan banyak agar tidak kelaparan saat perjalanan pulang, jadi kami pun makan agak banyak, walaupun perut ini rasanya tidak ingin makan.

Hingga tiba saatnya kami untuk pulang, Ibu Sukinah pun menangis dan memeluk saya dan Arin. Sampai ketika kami sudah sampai di kapel, saya masih menangis, hingga teman-teman yang lain menanyakan apa yang terjadi. Lalu, ketika saya kembali lagi ke Wonosari, saya langsung bertukar cerita dengan teman-teman yang lain. Setelah acara di Wonosari telah selesai, kami naik ke dalam bus dan siap-siap pulang ke BSD. Rasanya sungguh berat meninggalkan Wonosari dan desa Tepus. Selama perjalanan pulang, badan saya terasa tidak enak, mual dan pusing. Jadi yang saya lakukan hanya tidur selama perjalanan, ketika saya terbangun saya segera tidur lagi, terbangun lagi tidur lagi. Tiba-tiba saya sudah sampe di daerah Bekasi. Lalu sekitar pukul 6 pagi kami sudah sampai di sekolah, lalu kami pun pulang. Sekitar pukul 7 malam, saya menelepon Ibu Sukinah dan anaknya, Mas Lu. Ibu menangis lagi, karena teringat saya, katanya. Saya pun jadi ikut menangis, karena Ibu bilang “maaf ya ibu gak antar kamu kemarin, soalnya ibu gak tega liat kamu pergi.” Lalu ibu sering sekali bilang “kamu belajar yang bener, biar hidupnya enak gak susah kaya ibu di desa.” Sampai sekarang pun saya masih sering sms-an dengan Mas Lu, menanyakan keadaan Ibu dan Mas Lu. Kata Mas, “ibu udah gak pernah nangis, tapi sering bilang kangen sama kamu sama Arin.” Saya merasa pengalaman yang saya dapatkan di live in benar-benar berguna untuk saya. Tidak bisa di jelaskan memang, namun saya sendiri merasa mendapatkan manfaat dari acara live in ini.


Angelika Tessa Cornelia XII-IPB / 3



Ayunan Langkah di Tanah Berbatu

POSTED ON: @ 09.09 | 0 comments

Pagi masih belia, namun perlahan mentari telah berjejak menuju puncak singgasananya, membagikan cahaya pada bumi yang masih membisu. Kami pun seakan tak mau kalah bersaing dengan gerak cekatan mentari kala mendaki perbukitan yang membatasi dusun Semugih dan ladang penduduk. Ada Bu Sudar, Pak Ferry, Stella, dan diriku sendiri. Tak terbayang 'kan kumulai hari dengan sebuah kemustahilan: mendaki bukit menuju ladang.
  Bu Sudar dengan kerenyahan pada suaranya berceloteh mengenai bukit tersebut. Ia bilang penduduk desa Baran, termasuk dusun kami, Semugih, menamai bukit itu Gunung Terbang. Akibat ketinggian bukit yang cukup menjulang sehingga pendakinya serasa menaiki pesawat terbang, katanya.
 Meskipun sembari berkisah dengan riang, segala kata-kata yang terlontar darinya tak sekalipun memperlambat langkah Bu Sudar. Kakinya berayun lincah melintasi medan yang cukup berat, khususnya bagi wanita berusia kepala enam seperti dirinya. Bu Sudar kerap merendah dengan mengatakan bahwa stamina itu dibangun tahunan mengingat dirinya telah terbiasa menjelajahi perbukitan itu sejak kecil.
 Aku sendiri berupaya menutupi rasa lelah yang mulai membuncah dalam diriku. Semenjak kecil, fisikku memang cenderung lemah. Aku selalu kesulitan dalam memenuhi segala aktivitas yang menuntut stamina yang prima. Jika terlampau kecapekkan, tak jarang tubuhku malah ambruk. Seringkali pula kecerobohanku turut memprovokasi kelemahan fisikku. Entah mengapa, diriku mudah sekali terjatuh lantaran tersandung ataupun terpeleset.
Ketakutan pun pada akhirnya membuahkan kewaspadaan. Kewaspadaan pun membekukan segalanya. Sepanjang perjalanan, mataku kian melekat pada sepanjang tanah perbukitan yang kususuri. Mencegah bila ada batu atau tanjakan yang 'hendak' menjegalku. Mulutku pun tetap membungkam kala menemui tanjakan sulit yang, entah bagaimana, dengan mudahnya dilalui oleh Bu Sudar, Stella, ataupun Pak Ferry.
Kuyakinkan diriku bahwa aku akan baik-baik saja. Semua hanya perlu tahu bahwa aku mampu dan tak ada yang perlu meresahkan apapun, terutama meresahkan diriku. Siapa yang suka dirinya menjadi beban bagi orang lain, terutama di tengah kenikmatan mereka? Siapa yang suka jadi pengusik dengan segala kelemahan pribadinya?
Maka biarkan deritaku jadi deritaku! Perjalananku jadi perjalananku seorang. Dan kelamaan kuamati semakin banyak batu dan tanjakan yang menyambut perjalananku.
"Mbak Vena capek, ya?"
Pertanyaan Bu Sudar pun sontak membuyarkan lamunanku dan mengalihkan pandanganku sejenak dari semua batu, tanah, dan tanjakan yang sedari tadi menemani perjalanan. Aku pun hanya menggeleng pelan seraya menyertakan sesabit senyum untuk menguatkan dustaku. Kukerahkan segala kemampuanku beraktingku senatural mungkin. Sialnya, kondisi biologisku pun tak mendukung: peluh yang membanjir, wajah yang memucat dan nafas yang terengah.
Bu Sudar pun hanya tersenyum dan menyarankan kami semua untuk beristirahat sejenak. Disodorkannya sebotol air mineral, dan cemplon, buatanku dan Stella,yang memang telah disiapkan sebagai bekal kami sepanjang perjalanan. Sembari menenggak air, kusapukan pandangan pada pemandangan yang terhampar di bawah perbukitan. Perumahan penduduk beserta barisan pepohonan yang nampak kecil dari kejauhan begitu elok dijamah sinar mentari. Dapat kulihat Gua Braholo, gua bersejarah yang dulunya pernah menyimpan fosil-fosil masa lampau, menghiasi perbukitan di seberang.
"Dari sini pemandangannya bagus juga, ya," celetukku spontan.
"Lha, daritadi jalan, kan, emang pemandangannya begini," sahut Pak Ferry sembari menjeprat-jepret pemandangan itu dengan kamera yang digantung di lehernya.
Aku terhenyak sesaat. Sedari tadi yang kulihat hanyalah...batu, tanah kering, dan tanjakan. Bila tadi kualihkan sebentar pandanganku, mataku kan bertemu penyegaran berupa pemandangan yang jarang kujumpai di perkotaan.
Kami pun melanjutkan perjalanan setelah sepuluh menit berehat. Selanjutnya, aku seakan enggan melewatkan pemandangan-pemandangan menarik di sekitarku. Perlahan kulupakan segala macam batu, tanjakan atau jegalan-jegalan dalam wujud apapun. Kudongakkan kepalaku sembari melangkah. Terkadang kudapati Stella, yang memang selalu berjalan di depanku, menjulurkan tangannya padaku. Saat itulah tercetus sebuah peringatan mengenai tanjakan yang melintang di depanku. Begitulah yang terjadi seterusnya. Peringatan dan uluran tangan kian bersusulan sepanjang perjalanan sehingga jarak sekitar empat kilometer itu pun terpungkasi.
Sesampainya di ladang pun tenagaku seakan masih membeludak. Semangatku terpompa untuk menyambut aktivitas baru yang bisa kulakukan di sana untuk menolong Bu Sudar. Nyatanya, kondisi ladang sendiri hampir melompong akan hasil bumi akibat musim kemarau berkepanjangan. Hanya ada sedikit kacang panjang yang bisa kami petik...
"Ya, memang begini, Mbak," tukas Bu Sudar perlahan. "Kalau kemarau, ya, nggak panen. Waktu itu ketelanya sudah dipanen semua."
Bu Sudar pun mulai bercerita mengenai hasil ladang yang belum tentu selalu melimpah. Jarak antara ladang dan desa yang cukup jauh pun kerap menyulitkan pengangkutan hasil panen sehingga diperlukan penyewaan transportasi yang cukup meraup biaya. Sempat terbesit dalam benaknya untuk menjual ladang tersebut, namun teringat amanat suaminya sebelum wafat untuk mempertahankan ladang tersebut.
"Amanat orang sebelum meninggal itu harus dijaga, Mbak," jelas Bu Sudar padaku dan Stella seakan sadar bahwa wujud keprihatinan telah menggantung di ujung lidah.
Kami pun akhirnya memulai perjalanan pulang dengan memboyong segelintir kacang panjang. Aku membayangkan bahwa bawaan yang ringan itu seakan menjadi beban berat tertentu bagi kondisi finansial keluarga Bu Sudar. Ketela, hasil utama ladang pun tak dapat kami boyong kali ini.
Dari kejauhan, kudengar seseorang meneriakkan nama Bu Sudar. Bu Sudar pun lantas melambaikan tangan pada seorang petani tua yang tengah berehat di ladangnya, yang letaknya tak jauh dari ladang Bu Sudar. Kami pun serempak menghampirinya. Rambut yang keperakan serta kulit yang telah berkerut sana-sini merupakan jejak usianya yang telah melintasi lebih dari enam puluh tahun. Tak ayal, hari-harinya tetap tak lepas dari cangkul, ladang, kemarau dan jarak panjang yang membatasi rumahnya dan ladang. Kala kami menghampirinya, senyumnya mengembang seakan hendak memamerkan gigi-giginya yang telah banyak tanggal. Mulailah ia bertukar kata dengan Bu Sadar menggunakan bahasa Jawa yang hanya bisa kuartikan setengah-tengah.
"Baru dari ladang, Mbak?" tanyanya ramah padaku dan Stella.
"Inggih, Mbah," jawab kami sekenanya.
"Cantik-cantik disuruh naik gunung," ujarnya memecah tawa. "Sini, Mbah mau ngasih ketela..."
Aku dan Stella lantas melontarkan kekagetan. Bu Sudar pun sempat menolak secara halus, namun si Mbah itu pun malah sibuk mencabut ketela dengan perkakasnya. Jadilah ketela, yang awalnya hanya menghiasi angan, ikut meramaikan bakul Bu Sudar. Ketela, yang mungkin harganya rendah di pasaran dan tetap menjadi komoditas utama desa Baran ini menjadi milik kami cuma-cuma. Rasa bersalah dan iba pun sempat menggantung di hatiku membayangkan kebaikan si Mbah mungkin malah menghimpit pemasukannya sendiri hingga kata-kata Bu Sudar kembali mengetuk batinku.
"Sudahlah, yang namanya rezeki jangan pernah ditolak," ujar Bu Sudar ringan. "Toh, kita hidup bersama juga. Si Mbahnya memang baik, nanti kita kasihkan sesuatu juga."
Aku mengiyakan dan kurasakan hatiku merubah arahnya yang semula. Yang kutahu selama ini kebaikan ialah kebungkaman, kerelaan berjuang lebih untuk tidak membebani, merupakan tugasku pribadi untuk melayani. Semakin padat beban yang menjejali hatiku. Aku tak mau menggaduhkanmu hingga seakan kulupa kehadiranmu sendiri...
Tetapi kala kulihat dusun Semugih, desa Baran, Gunungkidul, kudapati kebaikan layaknya siklus bersusulan antara masyarakat yang saling melengkapi dan mengucur di atas tanah Baran. Bersama saudara-saudaraku kudapati kehidupan Baran tak lagi kering maupun berbatu. 
Maria Vivekaviarti
 seberkas kenanangan dari Baran





Mereka Lebih Kaya dari yang di Kota

POSTED ON: @ 08.25 | 0 comments


Biasa. Itu yang aku rasakan sebulan sebelum live in. Dua minggu sebelum live in. Masih biasa. Aku tak mencemaskan soal air seperti yang dialami temanku. Ia khawatir air bersih tak akan tersedia. Kupikir itu bisa diakali dengan tissue basah. Seminggu sebelum live in. Aku bahkan belum menyiapkan apa-apa saja yang harus kubawa. Temanku tetap cemas soal air bersih. Aku tetap merasa biasa. Aku tidak merasa berat untuk pergi, tapi bersemangat juga tidak. Benar-benar biasa. Di hari keberangkatan pun seolah-seolah aku sedang pergi ke rumah teman saja. Tak ada perasaan takut, gembira, atau apapun. Perjalanan 14 jm ke Wonosari terlewat begitu saja. Aku mulai merasa lelah dan cepat-cepat ingin sampai di rumah keluarga yang akan kutinggali agar bisa beristirahat.

Desa yang akan kutinggali, Tepus, berada kira-kira 20 menit jauhnya dari Wonosari. Sepanjang perjalanan, yang terlihat hanya ladang dan rumah-rumah sederhana di kiri-kanan jalan. Dan di sinilah aku mulai merasa kebat-kebit. Ladang-ladang itu benar-benar terlihat kerontang. Rumah-rumah yang ada terbuat dari jerami atau semen. Belum ada yang menggunakan tembok. Dalam hati aku mulai berpikir apakah aku tidak akan mandi selama 5 hari ke depan? Sampai di balai desa, kami diberi pengarahan dan mulailah kami diantar satu-persatu ke rumah keluarga yang akan kami tinggali bersama.

Aku dan kelima temanku diantar ke rumah Pak Slamet, kepala keluargaku dengan menaiki mobil Pak Wardiyo, ayah dari Pak Slamet sendiri. Saat masuk ke rumahnya, aku merasa takjub sendiri. Rumah itu bisa dibilang sudah sangat bagus. Ada ruang keluarga, ruang duduk, teras belakang  yang nyaman dan sejuk, dapur yang bersih, lantai keramik yang bagus. Aku jadi merasa terbalik, seolah-olah aku yang orang desa dan terpana melihat rumah mapan. Aku juga tak perlu khawatir soal air karena keluarga Pak Slamet sudah menggunakan air PAM. Keluarga Pak Slamet menyuruh aku dan Felicia, temanku, untuk tidur siang dulu karena kami pasti masih lelah karena perjalanan jauh.

Maka setelah mandi, kami tidur siang sebentar. Setelah itu, kami membantu keluarga Pak Slamet menguliti singkong. Kami merasa agak aneh melihat tiba-tiba ada begitu banyak orang di teras Pak Slamet. Berapa sebetulnya jumlah orang dalam keluarga ini? Aku bertanya-tanya dalam hati. Kami mulai duduk dan mengambil pisau untuk mengupas singkong. Tidak begitu sulit sebenarnya, karena aku pun kadang-kadang melakukannya di rumah, tapi melihat ibu-ibu yang sudah tua pun bisa melakukannya lebih cepat dan lebih rapi dari padaku, mau tak mau aku merasa gengsi juga. Kami banyak berbincang-bincang sambil melakukan pekerjaan ini.

Dari sana aku tahu bahwa masyarakat di desa ini sangat menjunjung tinggi kekeluargaan. Mereka setidaknya tersenyum ketika bertemu. Mereka membagi hasil panen pada yang tak mampu. Aku jadi berpikir, akankah orang-orang di kota melakukan hal seperti itu? Karena semua juga tahu, kepentingan masyarakat kalah di bawah kepentingan individu. Aku merasa malu. Dari sana aku juga tahu bahwa di desa ini, agama Katolik adalah agama minoritas. Agamanya, bukan warganya. Mereka tidak merasa bahwa mereka adalah warga minoritas. Dan begitu pula warga yang non-Katolik tidak mengucilkan mereka. Aku sempat bertanya apakah agama menjadi hal yang penting dan sering menjadi masalah di sini.

Pak Slamet dan istrinya, Bu Ana menjawab tidak dengan tegas. Mereka tidak pernah meributkan masalah agama di desa. “Kami tidak mempermasalahkan si itu agamanya apa, si ini agamanya apa. Kami tidak pernah menimbang-nimbang jika akan membagi hasil panen, apakah kami akan membaginya dengan warga yang seagama saja. Karena pada dasarnya kami saling membutuhkan.” Aku sungguh terpana dengan kalimat terakhir yang mereka ucapkan itu. Mereka menyadari bahwa mereka adalah makhluk sosial dan mempertahankan eksistensi mereka dengan saling membantu, bukan menjatuhkan. Aku juga kemudian mengetahui orang-orang yang berkumpul mengupas singkong itu bukan keluarga Pak Slamet semua. Mereka adalah tetangga-tetangganya. Desa ini benar-benar punya semangat gotong royong, batinku.

Malam itu, kami diajak nonton Jathilan, kesenian tradisional yang sedang diadakan dalam rangka perayaan setelah musim panen. Aku sangat bersemangat karena aku belum pernah menontonnya secara langsung. Aku dan kelima temanku menaiki mobil Carry dengan bak terbuka dan kami duduk di bak terbuka itu. Aku mengakui kalau di kota, kami akan terlihat seperti orang akan berdemo atau semacamnya dan mungkin menganggapnya kampungan. Tapi di sini, ini adalah salah satu hal yang selalu kami nantikan. Udara malam yang dingin menyapu wajah dan walaupun kami memakai jaket, kami bisa merasakan angin sejuk yang jarang sekali kami dapatkan ketika di kota. Aku menghirup udara malam itu sebanyak mungkin sambil melihat kanan-kiri jalan yang tampak seperti hutan. Pohon-pohon tampak hanya seperti bayangan. Kami dapat melihat bulan dan bintang-bintang dengan jelas dan awan yang setengah-setengah menutupinya.

Sesampainya kami di tempat pertunjukan, ternyata sudah ramai. Kami berusaha menyelip-nyelip di antara para penonton dan berdiri berdekatan agar tidak hilang di tengah keramaian. Terus terang saja, aku mulai kehilangan semangatku untuk menonton. Rasa semangat itu tergantikan oleh kekesalan yang muncul karena hampir semua orang di area yang terbuka itu merokok. Aku terus-menerus mengipas dan menutup hidung dan mulut dengan lengan jaket. Sebelum pertunjukan selesai, aku dan teman-temanku sudah menunggu di luar karena tidak tahan lagi. Asap menguar dari orang-orang di depan, belakang, kanan dan kiri kami.

 

Malam berikutnya, kami diajak menonton wayang. Aku hanya bisa berharap, semoga orang yang merokok tak akan sebanyak malam sebelumnya. Malam itu, aku tidak kesal karena asap rokok. Memang banyak orang yang merokok, tapi kali ini kami duduk dengan banyak ibu-ibu dan tak ada yang merokok di antara mereka. Malam itu, aku dibuat terheran-heran karena penontonnya yang sama membludaknya dengan kemarin. Jujur, aku sudah merasa mataku tak kuat menahan kantuk karena pertunjukan wayang belum dimulai juga, dari awal acara, mereka terus saja menyinden. Aku sudah membuktikan teori dalam pelajaran Antropologi bahwa pertunjukan kesenian di Indonesia jarang diminati lagi salah satu alasannya adalah karena durasinya yang lama, dan lagu serta gerakan yang diulang-ulang. Belum lagi mereka juga menggunakan bahasa Jawa yang aku tak mengerti. Tetapi sepulangnya dari sana, aku merasa puas bisa menontonnya dan ini menjadi refleksi pribadiku.

Mungkin aku merasa jenuh saat menontonnya, tetapi tidak dengan masyarakat di sana. Itu adalah hiburan buat mereka. Dan mereka secara langsung telah mempertahankan dan mengembangkan kesenian itu agar tidak punah. Aku belajar untuk lebih menghargai budaya negeri ini. Di antara kami, kaum muda yang lebih senang dengan kesenian modern, masih banyak yang berduyun-duyun untuk menonton wayang hingga pukul 5 pagi. Begitulah, kesenian tradisional diminati di tempat seperti ini, namun tak berkembang ketika dibawa ke kota.

Ini bukanlah bayanganku tentang live in. Persepsi kita selama ini tentang live in adalah hidup susah, bekerja keras dan berpanas-panas, dan sejuta hal lain yang belum apa-apa sudah menyurutkan semangat dengan mendengarnya saja. Aku setuju dengan apa yang dikatakan oleh Pak Wardiyo. Bahwa jika kita memang ingin belajar dari orang di desa, tak perlu dengan hidup susah dan menderita. Kita dapat tetap menjalankan aktivitas dengan nyaman dan yang terpenting, kita mendalami dan meresapi karakteristik orang-orang desa yang penuh keakraban, toleransi dengan kepedulian sosial yang tinggi, dan belajar untuk saling menghargai.

Aku tidak merasa homesick saat di sana. Mungkin karena aku juga menyukai rumah yang kutinggali. Bukan karena rumahnya sudah baik, sehingga terasa seperti rumah sendiri. Tapi karena aku merasa seperti itulah seharusnya sebuah rumah. Ada bapak yang menjaga dan memastikan kita tetap merasa aman. Ada ibu yang memasak makanan untuk anak-anaknya tiap pagi, siang, dan malam. Ada orangtua yang menasihati kita agar kita belajar dengan baik. Dan bukannya asal datang ke sekolah, menyontek PR dari teman, ulangan, remedial, pulang.  Lebih dari itu, mereka menginginkan kami sukses di masa depan yang terpenting, kami tidak melupakan orang kecil yang masih butuh bantuan.

Bertahun-tahun lagi aku mungkin akan lupa apa saja yang kulakukan di desa ini, makanan apa yang telah kucoba, dan jalan-jalan yang kulalui, tapi aku tak akan lupa pada nasihat yang diberikan oleh orangtua angkatku di sana. Ketika aku pulang, aku memikirkan hal-hal yang sudah kujalani. Sebetulnya, orang-orang di desa tak jauh berbeda dengan orang kota. Mereka bisa hidup dengan layak. Memang tak semua keluarga seperti ini, tetapi yang membedakan mereka dengan orang kota adalah mereka masih menyempatkan diri bersyukur atas apapun yang mereka dapatkan. Sedangkan seringkali orang kota meminta lebih. Orang-orang di desa hidup berkecukupan dalam kesederhanaan.

Mungkin orang-orang di kota pandai dalam berbisnis. Mereka bisa meluaskan sayap perusahaan, mengatur keuangan, dan lain-ain. Tapi orang desa tahu cara merawat dan menjaga alam mereka. Mereka tahu apa yang harus dilakukan ketika musim pancaroba, mereka tahu apa yang akan dilakukan jika gagal panen. Karena mereka mempunya prinsip, Tuhan tak akan membuat kami kesusahan. Jika gagal panen, masih akan ada persediaan. Orang-orang desa mendekatkan diri mereka tidak hanya pada sang Pencipta, tapi juga dengan orang di sekitar mereka, orang yang membutuhkan. Orang kota tidak lebih kaya dari mereka. Uang hanyalah benda yang menunjang kemakmuran kita dari luar. Tetapi hati nurani membuat kita menjadi manusia seutuhnya dari dalam.


Alexandra Vanessa XII IPB-1

Kemarin Saya ke Wonosari!

POSTED ON: @ 07.55 | 0 comments

1. 
Live in. Mungkin kebanyakan orang bakalan senang mendengar kata ini. Bagaimana tidak? Kita jalan-jalan ke desa!  Dari kebanyakan foto teman-teman saya yang mengikuti kegiatan live in, kesannya sangaaaaat menyenangkan. Berkunjung ke desa, memakai caping dan foto-fotoan sambil berjalan melewati jalan setapak di tengah sawah, ikut membajak sawah sambil menyusahkan si kerbau dengan duduk leha-leha di atasnya, menangkap lele, adalah sedikit dari kegiatan yang diberikan saat live in di sekolah-sekolah lain. Yap, anak kota mendadak ‘ndeso’.

Tibalah saatnya program itu diberikan di sekolah saya, SMA Santa Ursula BSD. Jika Santa Ursula yang sudah memberikan program, jangan harap program itu bakalan sama dengan yang dibuat oleh sekolah lain. Program live in di sekolah saya ini dikenal ‘tulen’. Maksudnya, live in dijalankan dengan arti yang sebenarnya, bukan semata-mata untuk plesiran, tapi kita diberikan kesempatan untuk hidup dengan irama orang desa. Live in dibuat agar kita bisa belajar dari nilai-nilai kearifan lokal yang masih dianut oleh orang desa, bagaimana mereka bisa berpegang teguh pada nilai itu, dan tetap hidup bahkan dengan goncangan pengaruh modernisasi.  Jangan seperti anggota parlemen kita yang mahal-mahal pergi ke luar negeri untuk studi banding, ujung-ujungnya malah dijadikan kesempatan untuk plesiran semata. Dengan sangat jelas, sekolah saya sangat menghindari agar kejadian seperti itu terjadi.

Jujur saya merasa biasa saja, karena saya siap menerima setiap kondisi yang ada. Kalau saya harus tinggal di daerah yang  kondisinya sulit, saya sanggup menjalankannya. Kalau saya harus tinggal di daerah yang kondisinya baik, ya puji Tuhan. Saya benar-benar merasakan kalau tidak ada yang spesial dan tidak mengharapkan apa-apa. Yang saya takutkan hanya dua hal, makanan pedas dan kecoak.

Live in berlangsung dari tanggal 1-7 September. Resminya sih sampai tanggal 8, yaitu hari untuk refleksi. Lokasi yang menjadi tujuan saya adalah Wonosari. Di Wonosari kembali dibagi ke beberapa desa, yaitu Tepus, Baran, Jati, dan Girisubo. Kabar buruknya adalah muncul berita bahwa daerah Wonosari dan sekitarnya sedang dilanda kekeringan. Sangat merepotkan saja, pikir saya waktu itu. Beberapa peraturan juga dijelaskan di setiap pertemuan seperti partner saya dalam keluarga (satu keluarga berdua), barang-barang apa saja yang harus dibawa, dos and don’ts saat live in, dll. Selain itu kita juga secara tidak langsung dipaksa untuk mengenal partner yang nanti akan menjadi teman hidup dalam keluarga asuh.

Akhirnya hari-H itu tiba, tanggal 1, hari Sabtu. Berat rasanya hati saya yang tahu bakalan bolos orkestra dua kali. Tiga kali berturut-turut kalau libur Lebaran sebelumnya juga masuk hitungan. Jam 1 siang saya ikut misa di aula dan selesainya langsung berkumpul di hall sesuai urutan bus. Perjalanan dimulai jam 3. Waktu di bus saya habiskan buat ‘ngepoin’ Zenia, kawan berbagi kursi saya, atau bermesraan dengan Dopi Jr., iPod saya tercinta. Bus berhenti beberapa kali, mulai dari yang saya kebelet turun buat ke toilet sampai saya tidak kuat turun karena kecapekan tidak bisa tidur. Saya benci perjalanan jauh dengan bus karena tidak bisa tidur. Saran saya untuk masalah transportasi, kenapa tidak memakai alat transportasi yang bernama kereta? Cepat, nyaman, dan relatif murah. Daripada bus yang makan waktu lebih dari 12 jam.

Sampailah di Wonosari kira-kira jam 6 pagi. Kita transit di sebuah gereja yang ada sekolah di belakangnya. Saya sempoyongan turun dari bus, mengambil ransel dan berburu air untuk cuci muka. Lama setelah istirahat dan sarapan, semua alat elektronik kami dititipkan, kemudian kami dibriefing ke desa masing-masing dan diutus oleh pastur setempat. Uniknya, kalau desa yang lain anak-anaknya diangkut dengan truk, khusus jurusan Tepus diangkut dengan minibus. Asyik? Tidak juga. Saya lebih ingin naik truk. Seru aja gitu dipepet-pepetin bareng seperti ikan sarden sambil tumbur-tumburan kalau jalanannya tidak rata. Kenapa hanya Tepus? Karena konon, desa Tepus yang paling susah airnya, jadi truk-truk yang masuk kesana diganti menjadi tangki air. Another bad news. Perjalanan dari gereja ke tujuan saya memakan waktu 30 menit dengan kondisi jalanan mulus tidak macet, jalan berkelok, dan busnya ngebut. Bayangkan betapa panjang dan terpelosoknya daerah saya ini. Sejauh mata memandang, yang bisa dilihat hanya barisan pohon kering dan batu yang mirip batu karang. Kering dan gersang.

Setelah bersempit-sempitan di minibus selama 30 menit, saya sampai di sebuah kapel. Yang membuat saya kaget disini adalah penentuan orangtua asuh dipilih lewat undian. Hmmm... terkesan tidak serius persiapannya, but whatever lah. Juli, teman sekeluarga saya, yang ngambil undian. Setelah prosesi pemilihan selesai, kami langsung jalan ke rumahnya yang ternyata lumayan jauh, menanjak, terpencil, dan berbatu.

2.
Nama orangtua asuh saya Pak Kadar dan Ibu Subini. Pekerjaan mereka berdua adalah pengrajin perak. Bapak dan ibu punya satu anak laki-laki namanya Elwi. Elwi sudah duduk di kelas 2 SMP. Di rumah yang saya tempati tidak hanya terdiri dari tiga orang, tapi ada juga kedua orangtua dari Pak Kadar. Perlu dicatat, kalau orangtua Pak Kadar tidak bisa berbicara bahasa Indonesia, hanya bahasa Jawa. Jadi kami tidak bisa mengobrol dengan mereka. Rumah yang akan saya tinggali lumayan luas, layaknya dua rumah kecil dijadikan satu, dan sepertinya memang begitu. Kalau melihat ke atas, terlihatlah genting merah berjajar rapi. Lihatlah kiri kananmu, akan terlihat batu bata, semen, dan kayu. Sejauh kakimu menapak, yang saya injak adalah tanah dan semen, tidak ada ubin ataupun kayu. Setelah sampai di rumahnya, ibu menunjukkan kamar tidur kami. Lumayan, kasur yang biasa dipakai untuk satu orang, harus muat untuk ditiduri berdua. Maaf ya Juli, pardon my big body.

Berikut  saya tunjukkan denah lebih kurangnya rumah Pak Kadar :


Lebih kurang, itulah gambaran rumah Pak Kadar. Memang luas, tapi jauh dari jalan raya. Jalanan masih agak berbatu walaupun sudah ada dua jalur semen masing-masing seukuran roda ban mobil. Suara yang paling umum terdengar mulai dari suara ternak, suara obrolan orang-orang yang lewat dengan bahasa Jawa, suara angin berhembus, dan suara motor. Ngomong-ngomong soal angin, daerah yang saya tinggali ini cahaya matahari memang terasa panas dan terik, tapi hembusan anginnya sangat dingin.

Hal yang paling saya antisipasi adalah the another most private place besides bedroom, kamar mandi. Sesudah beres-beres selesai, saya langsung bertanya dimana kamar mandinya untuk melihat kondisi. Ternyata inilah yang saya temukan, JENG JENG!! 



Saya langsung lega. Setidaknya BUKAN yang isinya hanya bolongan saja atau yang terkenal dengan istilah WC tembak. Walaupun airnya masih harus ditimba dari bak penampungan air besar tepat di depan kamar mandi, but that’s not a problem.  Kamar mandinya hanya dikelilingi pagar anyaman bambu setinggi orang dewasa. Lantainya dari semen yang tidak menyerap air. Ada sebuah WC jongkok dan tersedia dua ember kecil untuk air. Bagaimana cara mengunci pintu kalau kamar mandi sedang digunakan? Tariklah kawat di pintu kemudian ikatkan di tembok dekat pintu. Bahkan saya pernah tak sengaja liat salah satu anggota keluarga yang mandi di depan kamar mandi langsung. Tidak malu ya? Ckckck. 

Sisa hari dihabiskan dengan situasi yang sangat amat canggung. Kami disuruh istirahat, padahal saat itu kira-kira masih jam 2 siang. Jadilah kami duduk di ruang keluarga yang sunyi. Kami hanya duduk kalau tidak di dalam ya di luar rumah. Hal lain yang membuat kami panik adalah tidak ada guru yang menghampiri kami sampai malam. We cluelessly spent the rest of the day, spacing out.

Sampailah waktu tidur. Saya jadi anak baik yang jam 9 sudah tidur. Ketika saya duduk di kasurnya, walaaaah, ini mah tidur di papan namanya. Itu kasur saking tepos dan tipisnya sampai saya tidak sadar kalau sebenarnya saya tidur di atas kasur! Saya paksa tidur dan akhirnya bisa juga. Tidak tahu jam berapa waktu itu, tapi saya yakin itu tengah malam, saya terbangun. Apa yang membangunkan saya? Suara tokek. Itu tokek berisiknya tidak tanggung-tanggung dan tidak berhenti-berhentinya bunyi sampai saya ketiduran lagi sambil menahan sakit pinggang gara-gara kasur tipis. Saya tidak sempat kepikiran kalau tokek itu bisa saja tiba-tiba jatuh di atas muka saya. Saya tidak peduli. 

Pagi-pagi jam 6 saya terbangun secara paksa. Bukan alarm, bukan sihir, yang membuat saya bangun adalah suara ayam, sapi, dan kambing yang sedang berisik-berisiknya di jam itu. Samping kamar saya adalah kandang. Saya langsung cuci muka dan sikat gigi, tidak mandi. Disini saya hanya mandi sekali sehari saat sore. Itupun dengan maksimal 4 gayung air. Tiap mandi saya keramas loh. Setelah mandi saya disuguhkan sarapan. Setelah selesai makan, piring kami langsung diambil. Kami menawarkan diri untuk mencuci piring kami sendiri tapi tidak diperbolehkan. Saya tidak berani memaksa, takutnya tidak sopan. 

Saya menemukan bapak dan ibu sedang kerja di depan rumah. Mereka sedang berkutat pada kawat perak.  Ini kesempatan, kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan! Saya menawarkan diri untuk membantu. Bapak dengan wajah datar berkata tidak. Ouch! Saya kira beliau bercanda, eh ternyata beneran tidak. Ditolak mentah-mentah, rasanya jlebs! Bapak bilang saya tidak mengerti caranya, nanti kalau saya salah mengerjakan malahan gagal dan tidak bisa dijual. Sebagai gantinya, bapak menjelaskan apa yang dia lakukan. 
 

Yang bapak kerjakan itu namanya proses menampar, yaitu memipihkan kawat perak. Setelah dipipihkan, baru perak bisa digunakan untuk membuat kerajinan seperti anting, bros, liontin, dll sesuai pesanan. Upah kerja bapak hanya Rp 1.500 untuk setiap gram yang beliau kerjakan dengan bahan desar bijih perak seharga Rp 10.000 per gram. Biaya pembuatan yang sangat murah untuk barang yang bernilai tinggi. Sejak penawaran pertama ditolak, penolakan lain terus bermunculan. Saat bapak dan ibu bekerja saya menawarkan diri untuk membantu dan selalu tidak diperbolehkan. Tidak ada yang bisa saya kerjakan di rumah karena memang tidak ada. Rumah tidak bisa dibersihkan karena kalau lantainya tanah, apa yang mau disapu? Tidak ada sampah juga. Jadilah saya selama 4 hari 4 malam hanya bengong. 

Untuk meminimalisir bosan dan penasaran karena sudah hari kedua kami belum melihat orang yang kami kenal lagi, kami memutuskan untuk jalan keliling. Ketemulah 4 teman lain, tapi saat mau mencari yang lain, eh kami bertemu guru dan  disuruh kembali ke rumah masing-masing. Dan diketahuilah kenapa rumah saya belum dikunjungi. Alasannya, rumah saya paling jauh. Diberi tahu juga kalau akan ada refleksi tiap jam 2. Kembalilah saya ke rumah dan bengong. (PS: saat refleksi, saya baru tahu bahwa rumah teman-teman saya yang lain sudah berubin semua! Yang artinya?)

3.
Saya beneran tidak bohong soal bengong. Paling tidak menghabiskan berkaleng-kaleng kerupuk (maaf ya bu!) atau melihat bapak dan ibu mengerjakan perak. Cara kerjanya seperti membuat paper quiling tapi kali ini bahannya perak, bukan kertas. Saya iri sekali dengan teman yang lain. Ada yang diajak ke pantai, ada yang diajak jalan-jalan, ada yang diajak nonton wayang (ini IRI BANGET!!), ada yang pergi ke ladang, dll. Disuruh ke ladang aja saya rela deh panas-panasan asal tidak bengong di rumah. Suasana tambah parah karena Elwi sekolah dari pagi sampai sore dan selama 3 hari berturut-turut rumah ditinggalkan ke kami berdua karena keluarga bapak pergi mengantar mbahnya berobat. Pergi berobat sampai 2 keluarga loh yang ikut mengantar. Pernah kami ditinggalkan karena ibu ada acara lingkungan yang dimana kita tidak diajak ikut sementara teman yang lain diajak ikutan. Tampaknya orangtua saya itu sangat sungkan terhadap kami. Untuk membunuh waktu, inilah yang saya hasilkan!


Ini adalah sudut pandang saya saat bengong di depan rumah. Tempat terfavorit untuk bengong karena tempatnya adem, dibawah atap dan tetap kena angin. Disini juga bapak dan ibu biasanya bekerja selain di ruang kerja. Di depan rumah ini, banyak sekali ayam yang mondar-mandir mulai dari anak ayam, mama ayam, sampai papa ayam. Tidak jarang juga melihat Kiko, salah satu anjing Elwi, yang sedang kejar-kejaran dengan ayam. Oh iya, Elwi punya 3 anjing, Riwu si mama anjing yang paling galak, Kiko anak anjing yang paling bandel, dan Semut anak anjing yang lebih muda dari Kiko tapi badanya sangat gembul dan fluffy! Sayangnya mereka kotor karena kerjaannya sepanjang hari hanya menggonggong orang yang lewat dan main gigit-gigitan sambil guling-gulingan di tanah.

Di teras ini pernah terjadi satu kejadian lucu. Si mbah yang tidak bisa berbicara bahasa Indonesia pernah mencoba untuk mengajak kami ngobrol. Dia ngerocos dengan bahasa Jawa dan kami hanya dapat menggeleng kepala. Diam sebentar, dia tiba-tiba menunjuk Riwu dan bilang: “Asu iki, asu!” Saya merasa terharu, saya mengerti bahasa Jawa sekali dalam seumur hidup saya walaupun yang biasanya berkonotasi jelek dalam percakapan sehari-hari.



Kedinginan karena hawa pegunungan? Mari masuk! Inilah ruang keluarga. Tempat paling favorit di malam hari untuk duduk-duduk karena satu rumah semua nonton TV! Satu TV 14 inch untuk semua. Di tempat ini biasanya saya makan dan ngemil kerupuk yang enak-enak. Ruangan ini kalau siang-siang berubah jadi keren karena ada cahaya yang masuk dari satu genting yang diganti kaca plastik. Gelap-gelap gitu tapi di tengah ruangan ada sorotan cahaya matahari dan debu yang beterbangan. Persis efek film! 

Mumpung sudah sampai di ruang serbaguna yang biasa dijadikan tempat makan, tempat bengong, tempat nonton, atau tempat ngobrol ini, saya mau menceritakan tentang makanan disini. Untung saja saya cocok dengan makanannya. Tiap hari palingan nasi, indomie goreng (yap, double karbo), tahu, tempe, sop sayur yang isinya bihun, sawi putih, dan wortel. Tidak ada makanan pedas dan aneh-aneh! Plus, nasinya selalu hangat dan yaaaa... lumayan enak lah rasa sayur-sayurnya. Halleluya! 

4. 
Maaf jika tidak ada hal spesial yang dapat saya ceritakan saat live in ini. Mungkin berbeda sekali dengan cerita anak-anak lain, tetapi saya yakin tulisan mereka mungkin tidak lebih panjang dari milik saya *tertawa licik*. Oleh sebab itu, saya sangat menunggu satu hari, hari Kamis tanggal 6 September. Saatnya pulang. Kami berpamitan di pagi hari dan disuguhkan sarapan spesial. Kalau biasanya spesial itu menu spesial plus telur, kali ini menu spesial plus susu! Sarapan kami mewah sekali: nasi, mie instan goreng, tahu, tempe, sop sayur, telur, kerupuk, kue bolu, dan segelas susu. Ingat ini bukan fine dining, hanya sarapan spesial dari desa Tepus. Bapak dan ibu memberi kami oleh-oleh berupa ‘lempeng’ (kerupuk dari singkong) dan terus mengingatkan kami: “Mbak, nanti kalau sudah kuliah di Yogya, jangan lupain bapak sama ibu ya. Kalau sempet main lagi kesini.” Saya tidak bisa berkata apa-apa lagi selain amin. Setelah itu, bapak dan ibu mengantar kami ke kapel.

Kami sampai di kapel. Disana sudah berkumpul banyak teman lain yang juga didampingi orangtua asuh mereka. Belum berpisah saja sudah banyak yang sesunggukkan, pipi merah, dan nafas tersenggal-sengal. Banyak sekali yang menangis. Setelah beberapa patah kata kami kembali ke gereja dengan bus kecil dengan waktu perjalanan yang sama.

Setibanya di gereja, kami disambut oleh teman-teman dari SMA dan SMK St. Dominikus. Mereka membuat semacam acara ramah tamah sederhana sebagai sarana untuk mengenal sekolah kami lebih dekat.
Rasanya sudah kangen sekali dengan rumah. Bukan karena tidak betah dengan situasi dan kondisinya, melainkan karena kebosanan yang saya alami! Saya kangen iPod, mandi dengan air yang sedikit royal, makan nasi goreng tek-tek, terlebih internet!

Perjalanan pulang kami lalui dengan sangat melelahkan. Perjalanan dimulai pukul 2 siang dari Wonosari melewati Yogyakarta namun tidak berhenti disana. Saya ingin sekali membeli bakpia khas Yogya. Sekali waktu saat melewati kawasan pertokoan dan kami terkena lampu merah, saya dan teman yang duduk di belakang saya sama-sama ‘ngidam’ membeli oleh-oleh, saya ingin bakpia, dia ingin getuk. Bus kami berhenti karena lampu merah dan terhentinya pas di depan sebuah toko oleh-oleh. Kami dengan iseng melambai-lambaikan tangan ke arah penjaga toko, pura-pura ingin membeli. Rupanya si penjaga toko tersenyum melihat kami. Bukannya memberi sekotak bakpia, dia malah melambaikan tangan pada kami. Kami membalas melambaikan tangan sambil komat-kamit menunjuk susunan kotak oleh-oleh dari dalam bus sampai lampu hijau menyala.

Kami sampai di sekolah kira-kira pukul 6 pagi. Setelah pengarahan singkat dari Ibu Eri, kami dipersilahkan pulang. Sepertinya saya yang paling cepat melesat ke pintu keluar dan berlari menuju lapangan parkir sambil menghiraukan ransel saya yang berat. Perjalanan dari sekolah ke rumah saya yang jauh (sekolah di Tangerang, rumah di dekat Bandara) saya habiskan dengan tidur. Ingat, saya tidak bisa tidur dalam perjalanan bus.

Akhirnya tiba juga saya di rumah tercinta. Saya kaget melihat mbak sedang mencuci baju di garasi mobil, padahal biasanya dilakukan di bagian atas rumah. Ternyata mama lupa memberi tahu saya kalau sudah tiga hari itu kawasan Jakarta dan sekitarnya sedang kesulitan air bersih yang berkepanjangan. Mbak mencuci baju di garasi karena air hanya menyala pukul 6-9 pagi dan airnya tidak sampai ke atas rumah saking kecilnya. Air yang keluar juga keruh dan berbau. Okay, my live in program continues! (PS: air mulai kembali mengalir normal kira-kira 2 minggu semenjak saya pulang live in!)



5. 
Jadi, jika orang bertanya: “Kamu dapat apa setelah seminggu melelahkan dan membosankan dari live in yang sangat dibanggakan sekolahmu?” Saya akan tetap menjawab, walaupun bosan luar biasa yes, masih ada sedikit yang saya perhatikan dan saya renungkan. Saya belajar untuk menerima keadaan. Hidup apa adanya tanpa melihat kekurangan yang saya miliki. Bapak dan ibu hidup lebih susah daripada saya, segala sesuatu serba susah dan berkekurangan namun mereka terima itu tanpa mengeluh. Yang muncul dalam pikiran saya adalah, memang harus ada orang susah untuk setiap orang sukses. Yang di atas muncul karena ditopang oleh yang di bawah. Kalau tidak ada orang yang rela menderita hidup di bawah, tidak akan ada yang namanya konglomerat. Dan hebatnya mereka terima hukum alam semacam itu dengan tabah.

Selanjutnya, disini saya mendengar kata yang lazimnya disebut-sebutkan dalam soal Bahasa Indonesia atau KWN, kerja bakti. Biasanya ini hanyalah kata-kata yang terucap saja sebagai jawaban dari pertanyaan ulangan, namun kali ini saya melihatnya dengan nyata. Saat bapak pernah bilang kalau dia ingin pergi kerja bakti, hari gene pergi kerja bakti? Jadi ternyata jalan yang selama ini saya tapaki itu adalah hasil pekerjaan bapak dan teman-temannya yang lain. Kerja bakti membuat jalan yang seharusnya menjadi tugas pemerintah. Bapak pergi kerja bakti dari pagi hingga menjelang sore. Namun saat pulang, bukan keluhan yang ia bawa, melainkan peluh dan senyuman yang tulus. Teman-teman bapak yang lain pulang bersama sambil tertawa dan makan-makan bersama. Hal ini menarik buat saya karena kalau mau kerja bakti di kota, yang didapat hanya tertawaan dan cemoohan. Orang kota lebih egois, dan maunya memenuhi kepentingan sendiri-sendiri. 

Last but not least, saya mendengar sebuah kutipan yang menurut saya sangat bagus. Kutipan ini datang dari Pak Supriyadi yang punya usaha kerajinan perak yang terus berkembang ke seluruh Indonesia. Kelompok kami menyebutnya ‘juper’ atau juragan perak. Saat ditanya oleh kami: “Bapak sudah punya banyak uang, kenapa tidak tinggal di Jakarta saja pak?” Beliau dengan bijaksana menjawab: “Ya, kalau ke Jakarta itu cari uang, kalau disini cari saudara.” Unyu kaaaaan? Somehow, this quote really hit me in my different way of thinking. Saya jadi sadar kalau hidup di kota itu kejam, egois, dan susah. Your home is where the heart is. Walaupun rumahmu kampung kumuh yang terpencil dan sulit air, itulah kampungmu, rumahmu.







Oleh: Priska Patricia Rafel/XII-IPB/10
September, 2012

← Older / back up / Newer →
Blog Anak Bahasa