Desaku Yang Permai

POSTED ON: Minggu, 30 September 2012 @ 07.23 | 0 comments

"Desaku yang kucinta, pujaan hatiku
Tempat ayah dan bunda, dan handai taulanku..
Tak mudah kulupakan, Tak mudah bercerai
Selalu kurindukan, Desaku yang permai..."

    Mungkin kata-kata di atas terdengar cukup asing di telinga anak muda saat ini, tapi lirik lagu inilah yang membuatku benar-benar dapat merasakan makna kebersamaan yang erat di desa. Desa itu adalah desa Jati, sebuah desa yang terletak di daerah Wonosari. Sebuah desa yang tidak begitu besar, namun memiliki tradisi yang sangat berharga untuk dipertahankan.
    Aku dan temanku, Ivan, tinggal bersama keluarga Pak Kismorejo atau yang akrab dipanggil Pak Kismo. Saat kami datang, kami disambut hangat oleh Bu Kismo beserta kedua anaknya, Bu Supeni, adiknya bersama dengan suaminya, serta dua orang cucu dari Bu Kismo. Pak Kismo sendiri sedang pergi ke ladang, mengambil hasil panen telo miliknya. Sedangkan Pak Susilo, suami dari Bu Supeni, juga tengah pergi bekerja.
    Setelah membereskan segala barang yang kami bawa, aku dan Ivan melepas penat dengan duduk sejenak di ruang keluarga, dan bercengkrama dengan Mas Ibnu, suami dari adik Bu Supeni. Dari masalah sehari-hari, hingga kebiasaan di lingkungan Desa Jati yang berbeda jauh dengan kehidupan di Jakarta menjadi topik hangat obrolan kami. Hingga akhirnya, tiba saatnya untuk makan siang. Kami menghabiskan makan siang kami dengan sepiring penuh dengan lima jenis makanan yang membuat kami sangat kenyang, Bu Supeni langsung menyuruh kami untuk kembali mengambil makan siang. Padahal, perutku sudah ingin meledak kekenyangan. Hal ini cukup membuatku berpikir, betapa berbedanya hidupku disini dengan di Jakarta. Di desa ini, orang yang baru saja kukenal langsung memberlakukanku seperti anak sendiri. Bu Supeni memandangku seperti anaknya sendiri, padahal kami saja baru kenal satu sama lain. Ia menaruh perhatian lebih pada kami, orang-orang muda ini. Berbeda dengan keadaan di Jakarta, dimana orang tidak peduli akan orang lain, yang penting ia dapat hidup makmur.
    Malamnya, kami pun akhirnya bertemu dengan Bapak Kismo, yang baru pulang dari ladang. Setelah beristirahat dan makan malam, Pak Kismo mengajak kami untuk ikut bersamanya ke rumah Ketua RT 03, mengikuti acara arisan. Ya, di desa Jati terdapat pula arisan yang diikuti oleh bapak-bapak. Di rumah Ketua RT itulah, kami berkenalan dengan para kepala keluarga yang tinggal di dekat rumah kami. Di sela-sela arisan itu, mereka saling bercerita satu sama lain, menceritakan pengalamannya di masa lalu yang mengundang gelak tawa. Kami, anak muda dari kota, hanya bisa ikut tertawa dengan wajah yang bingung, tidak mengerti apa yang dikatakan oleh bapak-bapak kepala keluarga tersebut. Aku sendiri hanya mengerti sedikit. Kebersamaan dalam lingkungan warga seperti ini, yang membuatku mengenang lingkungan warga di kompleks rumahku. Sekarang, sudah jarang ada kumpul-kumpul seperti ini. Bercerita, menghilangkan penat, hingga larut malam. Semuanya telah disibukkan dengan pekerjaan masing-masing. Rasa kebersamaan seperti inilah yang kurindukan.
    Esoknya, kami membantu ibu di dapur menyiapkan makanan. Setelah makanan siap, kami pun menghabiskan 3 porsi makanan yang disediakan. Di kota, mungkin kami dikatakan rakus. Tapi disini, justru keluarga kami sangat senang kami menghabiskan makanan yang telah dimasak. Itu tandanya bahwa kami mensyukuri hidup yang tidak mewah ini. Memang, hidup disini berbeda dengan kehidupan di kota. Tapi, di desa ini, hidup mewah bukanlah sebuah keharusan. Asal hidup tercukupi, mereka bahagia. Setelah sarapan, kami membantu Bu Kismo ke ladang. Dalam perjalanan, kami bertemu dengan ibu-ibu tetangga, dan tak kusangka, ia menyapa kami dengan senyuman tulus dari bibirnya. Bahkan, dengan orang yang tidak dikenal pun, mereka masih menyapa kami dengan ikhlas. Bahkan, dengan teman sebaya yang sehari-hari kutemui saja, aku tidak sering menyapanya. Tapi, ibu ini menyapaku, yang tidak pernah dijumpainya. Ini menjadi sebuah pelajaran tersendiri untukku. Menyapa bukan sebuah pilihan, tapi sebuah keinginan yang tulus dari dalam hati.
    Hidup di desa ini memang terasa sulit untuk kami, yang masih merupakan pendatang baru disini. Pada suatu pagi, aku dan Ivan ikut Pak Kismo pergi ke ladang untuk memanen singkong miliknya. Mencabuti, memotong, dan memasukkannya ke dalam keranjang besar. Setelah keranjang terisi penuh, kami pun beranjak pulang. Pak Kismo dengan mudahnya mengangkat dan menaruh dua keranjang itu di pundaknya. Aku, yang ingin tahu, akhirnya meminta untuk membawakan keranjang itu. Awalnya, bapak menolak, tapi tak berapa lama, akhirnya ia setuju. Kucoba mengangkat kedua keranjang itu dan berjalan. Satu, dua, tiga langkah dan aku pun terkapar lelah. Bukan main beratnya keranjang itu! Aku heran, Pak Kismo dapat mengangkatnya dan membawanya pulang dengan mudah, padahal tubuhnya tidak lebih besar dari tubuhku atau Ivan. Akhirnya, kami pun menggotong kedua keranjang itu bersama, menuruni setiap petak tanah, dan berhenti sejenak. Begitu seterusnya hingga kami sampai di rumah. Satu hal lagi yang kupelajari dari Pak Kismo, tidak ada hal yang terasa berat jika kita melakukannya dengan sungguh-sungguh serta tidak mengeluh dan berputus asa.
    Selain itu, ada pula peristiwa yang paling mengingatkanku akan kenangan di rumah Pak Kismo. Ketika itu, kami bersiap-siap untuk tidur. Pak Susilo, yang senang memelihara burung, memasukkan semua burungnya ke dalam rumah. Biasanya, pagi hingga sore, burung-burungnya dalam sangkar digantungkan di selasar rumah. Akhirnya kami pun tidur. Saat itu, aku mendekati momen tertidur pulas, hingga tanpa basa-basi, mataku terbuka begitu mendengar suara kepakan sayap burung Pak Susilo, seperti sedang diganggu oleh seseorang. Tentu jantungku berdebar lebih kencang. Hal ini tidak terjadi pada malam-malam sebelumnya, dan tidak terdengar suara langkah kaki seorang pun di rumah itu. Aku mencoba menenangkan diri dan kembali mencari posisi yang pas untuk tidur dengan nyenyak. Namun, jantungku malah semakin berdebar kencang seiring terderngar suara suatu benda yang jatuh di atap di atas kamar kami. Benda itu terdengar bergerak turun, dan di samping halaman terdengar suara berisik, hingga akhirnya terdengar suara hentakan di jendela kamar kami. Aku tidak tahu pasti itu apa. Yang jelas, aku tidak bisa tidur setelahnya. Esoknya, aku menceritakan hal ini pada bapak dan ibu. Katanya, mungkin sebuah musang. Mereka pun meyakinkanku bahwa di desa itu tidak pernah ada hal-hal sebangsa hantu. Namun, salah seorang guru yang hari itu berkunjung ke rumahku mengatakan, "Oooh, itu tandanya kamu sudah 'diterima' disini.. Hahaha" Ya, lelucon yang ringan, tapi tetap membuat bulu kuduk berdiri. Jadi, aku dan Ivan sudah diterima oleh seluruh keluarga di rumah ini. Syukurlah kalau begitu.
    Begitu banyak pengalaman dan nilai hidup yang tidak dapat kulupakan. Meskipun dari pengalaman kecil pun, dampaknya besar bagi kehidupanku. Terima kasih, Pak. Terima kasih, Bu. Desa Jati memang menjadi tempat yang tidak akan kulupakan, tempat yang akan selalu kurindukan. Tempat dimana bapak-ibu merawatku dengan baik, walaupun hanya untuk beberapa hari. Ya, desa Jati yang permai.. 

"...Selalu kurindukan, Desa Jati yang permai..."

Yohannes Bagus Indrasworo

← Older / back up / Newer →
Blog Anak Bahasa