Keripik Singkong

POSTED ON: Minggu, 30 September 2012 @ 07.07 | 0 comments



Live In

Pada hari Sabtu, 1 September 2012, kami, siswa siswi SMA Santa Ursula BSD berkumpul di sekolah untuk memulai perjalanan ke Wonosari untuk kegiatan live in yang akan kami jalani selama 5 hari kedepan. Sebelum kegiatan ini berlangsung, kami diberi pembekalan terlebih dahulu. Beberapa kali telah dilakukan pertemuan dengan suster dan para guru, berbagai pengarahan dan penguatan telah diberikan kepada kami. Barang yang kami bawa pun bisa dibilang sedikit dan sederhana, karena memang itulah tujuan live in, melatih kita untuk hidup sederhana, lepas dari kehidupan kita sehari-hari di kota dan ikut merasakan dan menjadi satu dengan masyarakat di desa. Hidup sederhana telah kita mulai, dengan perjalanan ke Wonosari menggunakan bus, bukan kereta maupun pesawat, dengan lama perjalanan 14 jam.
Sesampainya di sana, saya dan beberapa teman ditempatkan di desa Tanjungsari, dan kami masih dibagi dalam beberapa dusun. Saya bersama teman sekamar saya, Bella menempati keluarga Bapak Wardiyo. Pak Wardiyo mempunyai seorang istri dan 2 orang anak. Salah seorang anaknya, Pak Slamet, juga tinggal di desa yang sama, rumahnya tidak begitu jauh dari rumah Pak Wardiyo, dan teman saya, Vanessa, Felicia, Celine, dan Aletheia, tinggal di rumah Pak Slamet. Karena rumah yang dekat dan tinggal dalam keluarga yang sama, sehari-hari kami beraktifitas bersama. Pak Wadriyo sendiri telah berusia 61 tahun dan selain bekerja sebagai petani, beliau juga berternak bebek dan memiliki usaha mengecer pupuk. Keluarga Pak Wardiyo hidup berkecukupan, walaupun begitu mereka hidup dengan sangat sederhana.
Hari pertama, saya merasa cukup tegang, karena ini merupakan pertama kalinya saya tinggal di desa yang benar-benar jauh dari kehidupan di kota. Sebelumnya saya sudah sempat bertanya pada kakak kelas, kebanyakan dari mereka mengatakan bahwa live in itu menyenangkan. Kegiatan selama live pun mengasyikan. Biasa yang saharí-harinya kita selalu berkutat pada pelajaran, belajar, membuat tugas, tetapi selama 5 hari tersebut kita bebas dari segala hal itu. Dalam 5 hari tersebut saya gunakan dengan sebaik-baiknya untuk lebih mengenal kehidupan di desa dan bersosialisai dengan masyarakat lokal. Di hari pertama ini, kami mulai berkenalan dengan Pak Wardiyo, berbincang-bincang santai sambil mengenal satu sama lain lebih dalam. Pak Wardiyo juga mengenalkan kami ke keempat saudaranya yang juga tinggal di desa yang sama, dengan berkunjung ke rumah mereka satu per satu.
Desa Tanjungsari dulunya merupakan bagian dari Desa Tepus, namun sekarang sudah memiliki nama sendiri yaitu Tanjungsari. Daerah Wonosari seperti yang saya lihat di surat kabar beberapa hari yang lalu, sedang mengalami kekeringan, dan memang benar dibuktikan dengan beberapa sungai kering yang saya lihat selama perjalanan. Untungnya, Desa Tanjungsari masih bisa mendapatkan air bersih, walaupun di rumah Pak Wardiyo air baru mengalir dalam 3 hari sekali, sehingga harus ditampung dalam bak super besar, kami masih bisa berkecukupan air bersih.
Pada hari kedua, kami berenam, saya, Bella, Vanessa, Felicia, Celine, dan Aletheia, beserta Pak Frans mengadakan pertemuan pada pagi hari di sebuah bukit kapur. Untuk sampai ke sana, kami harus memanjat, benar-benar memanjat tebing-tebing yang curam dan jalan yang ekstrim, benar-benar menjadi pengalaman baru bagi saya.  Malam harinya kami diajak untuk menonton pertunjukan wayang di desa lain yang tidak jauh dari Tanjungsari. Disini juga saya melihat, bahwa hiburan-hiburan seperti ini lah hiburan rakyat di sana. Mereka tidak mengenal bioskop atau mall, hiburan yang dipertunjukan oleh rakyat dan untuk rakyat. Penontonnya pun banyak dan semua merupakan masyarakat desa yang juga ingin melepas penat setelah seharian bekerja.
Pada hari ketiga, kami pergi ke Pantai Selatan untuk menemani Pak Wardiyo mengikuti rapat tani ditemani oleh Pak Slamet. Perjalanan yang cukup lama kami tempuh dengan mobil pick-up. Karena udara yang bersih dan alam yang indah, perjalanan menggunakan pick-up terasa jauh lebih menyenangkan. Kami pergi ke salah satu pantai yang belum komersial, tak disangka ternytata pantainya masih sangat asri dan bersih. Tidak kalah dengan pantai yang dikenal semua orang di Pulau Bali. Kami juga sempat mampir ke Gua Maria Tritis, karena melewati jalan pulang kami. Perjalanan ke dalam ditempuh dengan berjalan kaki,jalan yang sangat panjang dan matahari yang panas benar-benar melelahkan kami, tapi semuanya terbayar saat melihat keindahan gua Maria tersebut. Guanya teduh dan sejuk, sangat berbeda dengan keadaan di luar yang panas terik.
Hari keempat atau hari terakhir kita sebelum pulang keesokan hari, agak berbeda dari sebelumnya. Kami pergi ke ladang untuk memanen kapas, karena sedang kemarau dan tidak turun hujan berbulan-bulan, banyak sekali yang gagal panen sehingga tidak pergi ke ladang, namun hari ini kami akan memanen kapas di ladang Pak Wardiyo. Ladangnya tidak begitu luas, tapi kapas yang kami panen berhasil memenuhi satu karung penuh. Untuk pertama kalinya juga saya melihat tanaman kapas, memegangnya, dan memanennya. Udara yang panas menemani pekerjaan kami, namun seakan bisa membaca pikiran kami, Pak Wardiyo menyuruh salah seorang pekerjanya yang sedang ada disitu untuk mengambil kelapa langsung dari pohonnya yang juga milik Pak Wardiyo yang juga ada di ladang tersebut. Sekali lagi, untuk pertama kalinya saya merasakan meminum air kelapa langsung pohonnya, dibuka langsung saat itu juga dengan golok dan menegaknya langsung dari batoknya. Rasanya benar-benar menyegarkan, dan segera membuat kami semangat untuk memanen sisa kapas dari setengah ladang. Semua ini sangat menyenangkan, karena bisa membantu orang lain.
Hari terakhir kami di Desa Tanjungsari pun tiba. Berat rasanya meinggalkan Pak Wardiyo dan keluarga, rasanya saya masih ingin tinggal di sini lebih lama lagi. Tetapi kami harus pulang ke Serpong. Terakhir perpisahan saya dengan keluarga sangat menyakitkan hati. Tidak sedikit juga dari kami yang menangis saat mengucapkan salam perpisahan dengan mereka, memang berat meninggalkan desa tersebut, apalagi mereka sudah kami anggap sebagai keluarga sendiri dan mereka sudah memperlakukan kami seperti anak mereka sendiri. Tidak sedikit juga dari kami yang dibawakan buah tangan dari keluarganya masing-masing, saya sendiri mendapatkan keripik singkong buatan rumah, karena itu merupakan kudapan kami sehari-hari dan singkong merupakan makanan utama di sana. Tiada satu hari pun disana tanpa menyantap makanan berbahan dasar singkong ini -singkong disini seperti simbol kesederhanaan, simbol rakyat kecil-. Kami tiba di Wonosari untuk berkumpul, makan siang, dan mendapat sambutan dari siswa siswi SMK yang ada di paroki tersebut. Mereka menyambut kita dengan sangat baik. Selesai berdoa penutup kami pun kembali melanjutkan perjalanan pulang ke Serpong. Tidak sabar saya ingin segera pulang untuk menceritakan pengalaman-pengalaman yang saya alami selama live in di desa.
Selama live in, saya mendapat banyak sekali pengalaman-pengalam berharga yang tidak akan saya bisa dapatkan dari manapun. Saya belajar untuk lebih menghargai alam. Udara di desa masih sejuk, walaupun bahkan di siang hari sekalipun, karena banyaknya tumbuhan hijau dan lingkungan yang masih asri. Sedangkan di perkotaan, semakin sulit untuk menemukan daerah dengan pepohonan yang rindang. Orang-orang berlomba-lomba untuk membangun bangunan yang megah. Mereka menebang pepohonan demi kepentingan mereka. Saya dapat melihat pematang sawah dan ladang yang hijau, pemandangan yang indah yang tidak saya dapatkan di kota. Inilah yang membuat saya sadar dan berusaha untuk lebih menghargai alam, sebab kehidupan ktia juga berasal dari alam.
Melalui kegiatan live in saya juga menjadi lebih dekat dengan teman-teman yang lain. Sebelum live in saya tidak begitu mengenal mereka, bahkan dengan teman sekamar saya sekalipun, tetapi selama live in saya menjadi lebih mengenal dan lebih dekat dengan mereka. Membina pertemanan dengan banyak orang itu sungguh menyenangkan. Kita dapat saling membantu, dapat berbagi kegembiraan. Saya juga dapat mengenal penduduk-penduduk di desa. Mengenal kepribadian mereka yang ramah tamah, hidup dalam kesederhanaan, selalu bersyukur, dan juga sikap tolong menolong tanpa pamrih. Masyarakat di desa, semua saling mengenal satu sama lain, walaupun rumah mereka berjarak cukup jauh, berbeda dengan masyarakat kota yang kebanyakan bahkan tidak mengenal tetangga di sebelah rumah mereka yang berdempetan. Setiap kali berjalan dan bertemu seseorang langsung bertukar sapa, paling tidak saling melontarkan senyum.
Dari pengalaman ini pula saya melihat bahwa pembangunan di Indonesia sangat tidak merata. Pembangunan sangat terpusat di kota Jakarta. Daerah-daerah lain kurang diperhatikan oleh pemerintah, bahkan untuk hal dasar seperti pelayanan air bersih saja masih ada yang belum terjangkau, apalagi listrik, padahal berapa banyak listrik yang dikonsumsi masyarakat Jakarta setiap harinya? Pak Wardiyo juga pernah bercerita bahwa pemerintah, terutama presiden kita saat ini kurang memperhatikan sector pertanian. Petani kurang dihargai, padahal jika dipikir-pikir, kehidupan masyarakat seluruh Indonesia, termasuk masyarakat perkotaan juga makan dari para petani, sebenarnya petani dan masyarakat kecil lah yang menghidupi Indonesia. Namun selama ini jasa mereka kurang dihargai.
Dari Pak Wardiyo sendiri saya belajar banyak hal. Selain beliau adalah orang yang sangat religius, beliau benar-benar hidup dalam sikap kekeluargaan dan sederhana. Biarpun penghasilan beliau yang pas-pasan, cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari namun tidak berkelebihan, beliau masih banyak terlibat dalam kegiatan sosial dan menyumbang untuk orang lain. Contoh konkretnya, beliau cerita bahwa saat lebaran kemarin beliau menyumbangkan sebagian uangnya untuk zakat di masjid terdekat. Walaupun untuk umat yang berbeda keyakinan dengannya, beliau tidak pandang bulu untuk berbuat baik. Dapat dilihat juga, masyarakat disana hidup rukun dalam beragama, karena zakat dari Pak Wardiyo juga diterima dengan baik. Kegiatan live in dan Desa Tanjungsari mengajarkan saya banyak hal yang belum pernah saya ketahui atau bahkan saya coba sebelumnya.



Anastasia Zenia
XII – IPB / 2

← Older / back up / Newer →
Blog Anak Bahasa