Setetes Air Itu Berharga, Kawan...
POSTED ON: Minggu, 30 September 2012 @ 06.27 | 0 comments
Gudung
Kidul? Mendengar namanya saja sudah terbayang di benakku tentang keadaan di
sana. Banyak orang yang sudah pernah mengunjungi tempat itu menceritakan
bagaimana tandusnya salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta itu.
Tandus, gersang, kering, panas, dan keterbatasan air. Yah...begitulah pandangan
orang mengenai Gunung Kidul, daerah yang akan menjadi tempat tinggalku selama
beberapa hari.
Tepatnya
di sebuah dusun bernama Gude di desa Tepuslah aku tinggal. Saat perjalanan
menuju ke sana, hamparan pohon kering dan tanah bebatuanlah yang terlihat. Tak
heran memang. Nama Tepus sendiri sudah berulang kali disebutkan dalam berita
sebagai salah satu daerah yang mengalami kemarau berkepanjangan alias
kekeringan. Tanah gersang itu menjadi saksi bisunya, bagaimana air sudah lama
tidak mengguyur kawasan ini.
Ketika
aku sampai di rumah baruku, aku sedikit terkejut karena rumah itu tidak seperti
yang kubayangkan. Bukan rumah berbentuk Joglo yang akan kutinggali, melainkan
sebuah rumah berukuran cukup besar dengan bentuk selayaknya rumah yang berada
di kota-kota. Padahal rumah itu sendiri terletak di atas gunung. Selain rumah,
aku juga sedikit terkejut dengan kamar mandi yang ada di rumah ini. Kamar
mandinya cukup bagus, tidak seperti WC ‘tembak’ yang sering diucapkan orang.
Dan yang paling membuatku heran, rumah ini memiliki air yang cukup memadai.
Ya,
air memang menjadi salah satu bahan perbincangan sebelum kami berangkat live in. Karena itulah aku khawatir ketika mendengar Tepus sebagai
salah satu daerah yang kekurangan air. Mungkinkah aku sanggup menahan diri
untuk tidak mandi selama satu minggu? Tentu saja tidak. Dan syukurlah, Tuhan
mendengar doaku.
Rumah
yang kutinggali ini memang memiliki dua tangki besar untuk menampung air. Darimana semua
air itu berasal? Air yang dimiliki warga yang tinggal di daerah ini mereka
dapat dengan mengeluarkan uang sekitar Rp 100.000,00 sampai Rp 150.000,00 per
tangki. Harga yang tidak murah memang, bagi sebagian masyarakat yang bekerja
sebagai petani. Oleh karena itu tidak semua orang bisa membeli air ini, dan
mereka yang kurang beruntung itu harus mencari air sampai ke sumbernya, seperti
yang ada di berita-berita.
Mendengar
jumlah uang yang mereka keluarkan untuk membeli air membuatku dan teman
serumahku sempat tidak enak untuk mandi dua kali sehari. Mereka mati-matian
mencari air, kami malah menghabiskan air seenaknya. Itu bukan tujuan dari live in
kali ini. Tapi kedua orang tua asuhku menyuruh kami untuk mandi di pagi dan di
sore hari. Bagi mereka kebersihan tubuh harus tetap dijaga. Akhirnya kami
memutuskan untuk mandi setiap sore saja, atau sepulang dari ladang.
Hitung-hitung bisa membantu menghemat air. Dan aku benar-benar menghemat air di
sana.
Di
rumahku di Tangerang, aku bisa menghabiskan waktu sekitar setengah jam hanya
untuk mandi pagi dan sore. Coba bayangkan berapa banyak air yang terbuang. Sementara
di Tepus, aku hanya mandi sehari sekali, paling lama hanya sepuluh menit. Air yang
kupakai juga hanya sedikit, dengan alasan karena aku memang harus menghargai
air dan kualitas air di sana juga kurang bagus. Airnya berkapur sehingga
warnanya keruh. Tidak heran memang, Gunung Kidul sendiri terkenal dengan
kawasan gunung kapurnya. Pantas saja jika airnya berkapur. Tapi aku tidak terlalu
mempermasalahkan hal itu. Selama masih ada air untuk mandi, pergunakanlah itu
dengan sebijaksana mungkin. Begitulah prinsipku di sana.
Sebenarnya,
kekeringan yang dialami warga Tepus tahun ini semakin bertambah parah. Musim
kemarau semakin panjang, hujan sendiri hampir tak ada. Air hujan memang
merupakan salah satu sumber persediaan air warga yang bisa di dapat secara
cuma-cuma. Kekeringan yang tidak hanya melanda Tepus ini juga mengakibatkan
sumber air yang biasa di dapat dari daerah lain semakin menipis. Mereka juga
tidak dapat mengandalkan air tanah, karena tidak ada air yang bisa di dapat di
tanah gunung kapur seperti itu.
Pernah
suatu hari aku bertemu seorang bapak yang berkata air yang dipesannya belum
juga datang padahal sudah lima hari. Sumber tempat mereka biasa mengambil air
sudah habis, mengharuskan mereka mencari sumber baru lagi. Kalau sudah
demikian, harga air bisa bertambah mahal, apalagi jika sumbernya lebih jauh
dari sebelumnya. Air memang sangat berharga di tanah kering ini.
Inilah
sepenggal kisah yang bisa kubagikan seputar live in di Tepus. Kenapa semuanya
tentang air? Karena bagiku Tepus memberikan banyak pelajaran tentang air. Di
daerah yang berkekurangan pasokan air bersih inilah aku belajar tentang
bagaimana menghargai air dan pentingnya air dalam kehidupan manusia. Air memang
sangat berharga dalam kehidupan kita. Pergunakanlah air sebaik mungkin. Tidak
ada yang tahu bagaimana kondisi air di masa yang akan datang. Selama masih ada
air bersih, gunakan dengan bijaksana dan jangan dibuang dengan sia-sia.
Beruntunglah kita yang masih bisa mendapatkan air bersih, karena sebenarnya masih
banyak saudara-saudara kita di negeri ini yang tidak dapat menikmati air bersih
sebagaimana yang kita rasakan.
-Liliana Dea-
XII IPB/7
← Older / back up / Newer →
What is ABah?
Ever since: 2011
Terdiri dari 13 manusia makhluk yang berasal dari Jupiter, bertualang ke penjara hijau dan nyasar menemukan blogspot. I guess we'll keep writing on this page :)
The Crew
Vanessa
Zenia
Tessa
Astrid
Gary
Inka
Lili
Vena
Michelle
Priska
Ratna
Angie
Bagus
Tagboard
Your thoughts, and your cries. Be nice.
Setetes Air Itu Berharga, Kawan...
POSTED ON: Minggu, 30 September 2012 @ 06.27 | 0 comments
Gudung
Kidul? Mendengar namanya saja sudah terbayang di benakku tentang keadaan di
sana. Banyak orang yang sudah pernah mengunjungi tempat itu menceritakan
bagaimana tandusnya salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta itu.
Tandus, gersang, kering, panas, dan keterbatasan air. Yah...begitulah pandangan
orang mengenai Gunung Kidul, daerah yang akan menjadi tempat tinggalku selama
beberapa hari.
Tepatnya
di sebuah dusun bernama Gude di desa Tepuslah aku tinggal. Saat perjalanan
menuju ke sana, hamparan pohon kering dan tanah bebatuanlah yang terlihat. Tak
heran memang. Nama Tepus sendiri sudah berulang kali disebutkan dalam berita
sebagai salah satu daerah yang mengalami kemarau berkepanjangan alias
kekeringan. Tanah gersang itu menjadi saksi bisunya, bagaimana air sudah lama
tidak mengguyur kawasan ini.
Ketika
aku sampai di rumah baruku, aku sedikit terkejut karena rumah itu tidak seperti
yang kubayangkan. Bukan rumah berbentuk Joglo yang akan kutinggali, melainkan
sebuah rumah berukuran cukup besar dengan bentuk selayaknya rumah yang berada
di kota-kota. Padahal rumah itu sendiri terletak di atas gunung. Selain rumah,
aku juga sedikit terkejut dengan kamar mandi yang ada di rumah ini. Kamar
mandinya cukup bagus, tidak seperti WC ‘tembak’ yang sering diucapkan orang.
Dan yang paling membuatku heran, rumah ini memiliki air yang cukup memadai.
Ya,
air memang menjadi salah satu bahan perbincangan sebelum kami berangkat live in. Karena itulah aku khawatir ketika mendengar Tepus sebagai
salah satu daerah yang kekurangan air. Mungkinkah aku sanggup menahan diri
untuk tidak mandi selama satu minggu? Tentu saja tidak. Dan syukurlah, Tuhan
mendengar doaku.
Rumah
yang kutinggali ini memang memiliki dua tangki besar untuk menampung air. Darimana semua
air itu berasal? Air yang dimiliki warga yang tinggal di daerah ini mereka
dapat dengan mengeluarkan uang sekitar Rp 100.000,00 sampai Rp 150.000,00 per
tangki. Harga yang tidak murah memang, bagi sebagian masyarakat yang bekerja
sebagai petani. Oleh karena itu tidak semua orang bisa membeli air ini, dan
mereka yang kurang beruntung itu harus mencari air sampai ke sumbernya, seperti
yang ada di berita-berita.
Mendengar
jumlah uang yang mereka keluarkan untuk membeli air membuatku dan teman
serumahku sempat tidak enak untuk mandi dua kali sehari. Mereka mati-matian
mencari air, kami malah menghabiskan air seenaknya. Itu bukan tujuan dari live in
kali ini. Tapi kedua orang tua asuhku menyuruh kami untuk mandi di pagi dan di
sore hari. Bagi mereka kebersihan tubuh harus tetap dijaga. Akhirnya kami
memutuskan untuk mandi setiap sore saja, atau sepulang dari ladang.
Hitung-hitung bisa membantu menghemat air. Dan aku benar-benar menghemat air di
sana.
Di
rumahku di Tangerang, aku bisa menghabiskan waktu sekitar setengah jam hanya
untuk mandi pagi dan sore. Coba bayangkan berapa banyak air yang terbuang. Sementara
di Tepus, aku hanya mandi sehari sekali, paling lama hanya sepuluh menit. Air yang
kupakai juga hanya sedikit, dengan alasan karena aku memang harus menghargai
air dan kualitas air di sana juga kurang bagus. Airnya berkapur sehingga
warnanya keruh. Tidak heran memang, Gunung Kidul sendiri terkenal dengan
kawasan gunung kapurnya. Pantas saja jika airnya berkapur. Tapi aku tidak terlalu
mempermasalahkan hal itu. Selama masih ada air untuk mandi, pergunakanlah itu
dengan sebijaksana mungkin. Begitulah prinsipku di sana.
Sebenarnya,
kekeringan yang dialami warga Tepus tahun ini semakin bertambah parah. Musim
kemarau semakin panjang, hujan sendiri hampir tak ada. Air hujan memang
merupakan salah satu sumber persediaan air warga yang bisa di dapat secara
cuma-cuma. Kekeringan yang tidak hanya melanda Tepus ini juga mengakibatkan
sumber air yang biasa di dapat dari daerah lain semakin menipis. Mereka juga
tidak dapat mengandalkan air tanah, karena tidak ada air yang bisa di dapat di
tanah gunung kapur seperti itu.
Pernah
suatu hari aku bertemu seorang bapak yang berkata air yang dipesannya belum
juga datang padahal sudah lima hari. Sumber tempat mereka biasa mengambil air
sudah habis, mengharuskan mereka mencari sumber baru lagi. Kalau sudah
demikian, harga air bisa bertambah mahal, apalagi jika sumbernya lebih jauh
dari sebelumnya. Air memang sangat berharga di tanah kering ini.
Inilah
sepenggal kisah yang bisa kubagikan seputar live in di Tepus. Kenapa semuanya
tentang air? Karena bagiku Tepus memberikan banyak pelajaran tentang air. Di
daerah yang berkekurangan pasokan air bersih inilah aku belajar tentang
bagaimana menghargai air dan pentingnya air dalam kehidupan manusia. Air memang
sangat berharga dalam kehidupan kita. Pergunakanlah air sebaik mungkin. Tidak
ada yang tahu bagaimana kondisi air di masa yang akan datang. Selama masih ada
air bersih, gunakan dengan bijaksana dan jangan dibuang dengan sia-sia.
Beruntunglah kita yang masih bisa mendapatkan air bersih, karena sebenarnya masih
banyak saudara-saudara kita di negeri ini yang tidak dapat menikmati air bersih
sebagaimana yang kita rasakan.
-Liliana Dea-
XII IPB/7
← Older / back up / Newer →