Mereka Lebih Kaya dari yang di Kota

POSTED ON: Minggu, 30 September 2012 @ 08.25 | 0 comments


Biasa. Itu yang aku rasakan sebulan sebelum live in. Dua minggu sebelum live in. Masih biasa. Aku tak mencemaskan soal air seperti yang dialami temanku. Ia khawatir air bersih tak akan tersedia. Kupikir itu bisa diakali dengan tissue basah. Seminggu sebelum live in. Aku bahkan belum menyiapkan apa-apa saja yang harus kubawa. Temanku tetap cemas soal air bersih. Aku tetap merasa biasa. Aku tidak merasa berat untuk pergi, tapi bersemangat juga tidak. Benar-benar biasa. Di hari keberangkatan pun seolah-seolah aku sedang pergi ke rumah teman saja. Tak ada perasaan takut, gembira, atau apapun. Perjalanan 14 jm ke Wonosari terlewat begitu saja. Aku mulai merasa lelah dan cepat-cepat ingin sampai di rumah keluarga yang akan kutinggali agar bisa beristirahat.

Desa yang akan kutinggali, Tepus, berada kira-kira 20 menit jauhnya dari Wonosari. Sepanjang perjalanan, yang terlihat hanya ladang dan rumah-rumah sederhana di kiri-kanan jalan. Dan di sinilah aku mulai merasa kebat-kebit. Ladang-ladang itu benar-benar terlihat kerontang. Rumah-rumah yang ada terbuat dari jerami atau semen. Belum ada yang menggunakan tembok. Dalam hati aku mulai berpikir apakah aku tidak akan mandi selama 5 hari ke depan? Sampai di balai desa, kami diberi pengarahan dan mulailah kami diantar satu-persatu ke rumah keluarga yang akan kami tinggali bersama.

Aku dan kelima temanku diantar ke rumah Pak Slamet, kepala keluargaku dengan menaiki mobil Pak Wardiyo, ayah dari Pak Slamet sendiri. Saat masuk ke rumahnya, aku merasa takjub sendiri. Rumah itu bisa dibilang sudah sangat bagus. Ada ruang keluarga, ruang duduk, teras belakang  yang nyaman dan sejuk, dapur yang bersih, lantai keramik yang bagus. Aku jadi merasa terbalik, seolah-olah aku yang orang desa dan terpana melihat rumah mapan. Aku juga tak perlu khawatir soal air karena keluarga Pak Slamet sudah menggunakan air PAM. Keluarga Pak Slamet menyuruh aku dan Felicia, temanku, untuk tidur siang dulu karena kami pasti masih lelah karena perjalanan jauh.

Maka setelah mandi, kami tidur siang sebentar. Setelah itu, kami membantu keluarga Pak Slamet menguliti singkong. Kami merasa agak aneh melihat tiba-tiba ada begitu banyak orang di teras Pak Slamet. Berapa sebetulnya jumlah orang dalam keluarga ini? Aku bertanya-tanya dalam hati. Kami mulai duduk dan mengambil pisau untuk mengupas singkong. Tidak begitu sulit sebenarnya, karena aku pun kadang-kadang melakukannya di rumah, tapi melihat ibu-ibu yang sudah tua pun bisa melakukannya lebih cepat dan lebih rapi dari padaku, mau tak mau aku merasa gengsi juga. Kami banyak berbincang-bincang sambil melakukan pekerjaan ini.

Dari sana aku tahu bahwa masyarakat di desa ini sangat menjunjung tinggi kekeluargaan. Mereka setidaknya tersenyum ketika bertemu. Mereka membagi hasil panen pada yang tak mampu. Aku jadi berpikir, akankah orang-orang di kota melakukan hal seperti itu? Karena semua juga tahu, kepentingan masyarakat kalah di bawah kepentingan individu. Aku merasa malu. Dari sana aku juga tahu bahwa di desa ini, agama Katolik adalah agama minoritas. Agamanya, bukan warganya. Mereka tidak merasa bahwa mereka adalah warga minoritas. Dan begitu pula warga yang non-Katolik tidak mengucilkan mereka. Aku sempat bertanya apakah agama menjadi hal yang penting dan sering menjadi masalah di sini.

Pak Slamet dan istrinya, Bu Ana menjawab tidak dengan tegas. Mereka tidak pernah meributkan masalah agama di desa. “Kami tidak mempermasalahkan si itu agamanya apa, si ini agamanya apa. Kami tidak pernah menimbang-nimbang jika akan membagi hasil panen, apakah kami akan membaginya dengan warga yang seagama saja. Karena pada dasarnya kami saling membutuhkan.” Aku sungguh terpana dengan kalimat terakhir yang mereka ucapkan itu. Mereka menyadari bahwa mereka adalah makhluk sosial dan mempertahankan eksistensi mereka dengan saling membantu, bukan menjatuhkan. Aku juga kemudian mengetahui orang-orang yang berkumpul mengupas singkong itu bukan keluarga Pak Slamet semua. Mereka adalah tetangga-tetangganya. Desa ini benar-benar punya semangat gotong royong, batinku.

Malam itu, kami diajak nonton Jathilan, kesenian tradisional yang sedang diadakan dalam rangka perayaan setelah musim panen. Aku sangat bersemangat karena aku belum pernah menontonnya secara langsung. Aku dan kelima temanku menaiki mobil Carry dengan bak terbuka dan kami duduk di bak terbuka itu. Aku mengakui kalau di kota, kami akan terlihat seperti orang akan berdemo atau semacamnya dan mungkin menganggapnya kampungan. Tapi di sini, ini adalah salah satu hal yang selalu kami nantikan. Udara malam yang dingin menyapu wajah dan walaupun kami memakai jaket, kami bisa merasakan angin sejuk yang jarang sekali kami dapatkan ketika di kota. Aku menghirup udara malam itu sebanyak mungkin sambil melihat kanan-kiri jalan yang tampak seperti hutan. Pohon-pohon tampak hanya seperti bayangan. Kami dapat melihat bulan dan bintang-bintang dengan jelas dan awan yang setengah-setengah menutupinya.

Sesampainya kami di tempat pertunjukan, ternyata sudah ramai. Kami berusaha menyelip-nyelip di antara para penonton dan berdiri berdekatan agar tidak hilang di tengah keramaian. Terus terang saja, aku mulai kehilangan semangatku untuk menonton. Rasa semangat itu tergantikan oleh kekesalan yang muncul karena hampir semua orang di area yang terbuka itu merokok. Aku terus-menerus mengipas dan menutup hidung dan mulut dengan lengan jaket. Sebelum pertunjukan selesai, aku dan teman-temanku sudah menunggu di luar karena tidak tahan lagi. Asap menguar dari orang-orang di depan, belakang, kanan dan kiri kami.

 

Malam berikutnya, kami diajak menonton wayang. Aku hanya bisa berharap, semoga orang yang merokok tak akan sebanyak malam sebelumnya. Malam itu, aku tidak kesal karena asap rokok. Memang banyak orang yang merokok, tapi kali ini kami duduk dengan banyak ibu-ibu dan tak ada yang merokok di antara mereka. Malam itu, aku dibuat terheran-heran karena penontonnya yang sama membludaknya dengan kemarin. Jujur, aku sudah merasa mataku tak kuat menahan kantuk karena pertunjukan wayang belum dimulai juga, dari awal acara, mereka terus saja menyinden. Aku sudah membuktikan teori dalam pelajaran Antropologi bahwa pertunjukan kesenian di Indonesia jarang diminati lagi salah satu alasannya adalah karena durasinya yang lama, dan lagu serta gerakan yang diulang-ulang. Belum lagi mereka juga menggunakan bahasa Jawa yang aku tak mengerti. Tetapi sepulangnya dari sana, aku merasa puas bisa menontonnya dan ini menjadi refleksi pribadiku.

Mungkin aku merasa jenuh saat menontonnya, tetapi tidak dengan masyarakat di sana. Itu adalah hiburan buat mereka. Dan mereka secara langsung telah mempertahankan dan mengembangkan kesenian itu agar tidak punah. Aku belajar untuk lebih menghargai budaya negeri ini. Di antara kami, kaum muda yang lebih senang dengan kesenian modern, masih banyak yang berduyun-duyun untuk menonton wayang hingga pukul 5 pagi. Begitulah, kesenian tradisional diminati di tempat seperti ini, namun tak berkembang ketika dibawa ke kota.

Ini bukanlah bayanganku tentang live in. Persepsi kita selama ini tentang live in adalah hidup susah, bekerja keras dan berpanas-panas, dan sejuta hal lain yang belum apa-apa sudah menyurutkan semangat dengan mendengarnya saja. Aku setuju dengan apa yang dikatakan oleh Pak Wardiyo. Bahwa jika kita memang ingin belajar dari orang di desa, tak perlu dengan hidup susah dan menderita. Kita dapat tetap menjalankan aktivitas dengan nyaman dan yang terpenting, kita mendalami dan meresapi karakteristik orang-orang desa yang penuh keakraban, toleransi dengan kepedulian sosial yang tinggi, dan belajar untuk saling menghargai.

Aku tidak merasa homesick saat di sana. Mungkin karena aku juga menyukai rumah yang kutinggali. Bukan karena rumahnya sudah baik, sehingga terasa seperti rumah sendiri. Tapi karena aku merasa seperti itulah seharusnya sebuah rumah. Ada bapak yang menjaga dan memastikan kita tetap merasa aman. Ada ibu yang memasak makanan untuk anak-anaknya tiap pagi, siang, dan malam. Ada orangtua yang menasihati kita agar kita belajar dengan baik. Dan bukannya asal datang ke sekolah, menyontek PR dari teman, ulangan, remedial, pulang.  Lebih dari itu, mereka menginginkan kami sukses di masa depan yang terpenting, kami tidak melupakan orang kecil yang masih butuh bantuan.

Bertahun-tahun lagi aku mungkin akan lupa apa saja yang kulakukan di desa ini, makanan apa yang telah kucoba, dan jalan-jalan yang kulalui, tapi aku tak akan lupa pada nasihat yang diberikan oleh orangtua angkatku di sana. Ketika aku pulang, aku memikirkan hal-hal yang sudah kujalani. Sebetulnya, orang-orang di desa tak jauh berbeda dengan orang kota. Mereka bisa hidup dengan layak. Memang tak semua keluarga seperti ini, tetapi yang membedakan mereka dengan orang kota adalah mereka masih menyempatkan diri bersyukur atas apapun yang mereka dapatkan. Sedangkan seringkali orang kota meminta lebih. Orang-orang di desa hidup berkecukupan dalam kesederhanaan.

Mungkin orang-orang di kota pandai dalam berbisnis. Mereka bisa meluaskan sayap perusahaan, mengatur keuangan, dan lain-ain. Tapi orang desa tahu cara merawat dan menjaga alam mereka. Mereka tahu apa yang harus dilakukan ketika musim pancaroba, mereka tahu apa yang akan dilakukan jika gagal panen. Karena mereka mempunya prinsip, Tuhan tak akan membuat kami kesusahan. Jika gagal panen, masih akan ada persediaan. Orang-orang desa mendekatkan diri mereka tidak hanya pada sang Pencipta, tapi juga dengan orang di sekitar mereka, orang yang membutuhkan. Orang kota tidak lebih kaya dari mereka. Uang hanyalah benda yang menunjang kemakmuran kita dari luar. Tetapi hati nurani membuat kita menjadi manusia seutuhnya dari dalam.


Alexandra Vanessa XII IPB-1

← Older / back up / Newer →
Blog Anak Bahasa