Hatiku masih di singkong

POSTED ON: Minggu, 11 November 2012 @ 07.29 | 0 comments

Perjalanan Live in dilakukan dengan bus, setibanya di lokasi kami tidak langsung ke desa, melainkan dikumpulkan dahulu di gedung serba guna. Perjalanan dengan bus sungguh luar biasa, malam terasa begitu panjang karena saya sudah puas tidur dari siang. Tidak terhitung berapa pit stop yang kami lewati, yang pasti harga cup mie semakin mahal di setiap stop. Setelah diberi makan siang, kami di briefing sebelum berangkat ke desa masing-masing. Perjalanan menuju desa dilakukan dengan truk, dan luar biasa sekali kawan-kawan, jalan yang kami lalui sangat mulus, tapi bergelombang naik turun yang cukup membuat perut saya terbalik.

Desa saya adalah desa Jati, kami diturunkan di kapel dan dipasangkan dengan orang tua asuh kami disana. Bapak asuh kami orangnya agak tua, lebih pendek dari saya, namun terasa sekali orangnya tangguh dan tubuhnya kokoh. Saya tinggal bersama dengan Anton, kami tidak dekat, tapi tidak bermasalah. Bapak menuntun kami ke rumahnya dengan berjalan kaki, tidak disangka rumahnya lumayan jauh dari kapel. Jauh mungkin bukan kata yang tepat, karena medan naik turun lengkap dengan tikungan tajam lah yang membuat perjalanan itu lumayan berat.

Di rumahnya, kami disambut oleh setiap orang dirumah, dan setiap hewan dan ternak yang ada disana juga. Saya dan Anton langsung dijamu semacam ketan, keripik singkong, dan teh manis. Teh manisnya sesuai dugaan, 120% manis, keripik singkongnya mantab, dan ketannya.... Saudara-saudara, ketannya belum sempurna berfermentasi dan ketika saya buka getahnya masih bergelembung. Rasanya luar biasa asam, tidak tajam namun memberikan kesan yang tidak enak di lidah untuk waktu yang lama. Saya berusaha menghabiskan satu dengan bantuan teh manis dan keripik singkong. Tapi Anton tiba-tiba berceloteh "Gua ga bisa makan yang kayak begini" dengan muka kecut yang pasti karena rasa ketannya. Ahh Anton, ingin sekali aku memasukkan 1 bungkus ketan itu kemulutmu saat itu juga, ingin juga aku berceloteh macam-macam, tapi semua pikiran itu kutelan dan yang tersisa hanya kata-kata halus "Habiskan Ton..."

Kami mengobrol dengan setiap orang di kota, pembicaraan awalnya seputar keluarga bapak, dengan Anton sebagai juru bicara tentunya, karena saya lebih suka mendengar dan mengamati dan bertanya hal yang Anton lewati. Arah pembicaraan segera beralih ke suami dari putri bungsu bapak, yang baru 6 bulan pindah dan menetap disini. Jelas saja kami lebih nyambung, mas yang satu ini masih sangat terasa orang kotanya, ceritanya panjang, banyak yang bisa kita bandingkan, dan lebih banyak basa-basi ala orang kota.

Pembicaraan tidak berlangsung begitu lama, selain karena tidak mungkin semua topik kita habiskan dalam sehari, kami disuruh tidur siang dahulu karena pasti capai setelah perjalanan jauh. Kami diantar menuju kamar kami, melewati ruang tv yang besarnya 1/2 rumah saya. Nampak dengan sangat mencolok, singkong yang sudah terkupas, dikeringkan, dan siap dijual tertimbun rapi di sudut ruangan dan banyaknya hampir memenuhi seluruh tembok. Saya hanya terdiam, dalam benak saya imajinasi saya mencangkul atau mencabut singkong saya bakar, sementara Anton basa-basi lagi dengan bertanya itu apa. Kamar kami hanya berjarak satu meter dari ruang tv tadi, tiga meter dari kamar mandi, dan bersebelahan dengan pintu keluar. Kamar kami cukup luas, ranjangnya hanya satu namun cukup besar untuk tidur dengan jarak aman.Kamar mandinya kecil dan nampak baru, ternyata memang baru dibangun beberapa bulan lalu bersama dengan tangki air disebelahnya. Setelah menaruh tas kami, Anton masih ingin mengobrol sebentar, sementara saya ingin bertualang mengelilingi rumah dahulu. Saya keluar dan melihat kandang kambing, sapi, ayam, dan bebek. Sama sekali tidak jauh dari bayangan, bau yang ada juga sudah saya perkirakan jadi paling tidak saya tidak shock, dan semuanya begitu jinak, kecuali ayam-ayamnya yang menjadi raja disini, mereka berkeliaran di mana-mana, sebagian memang punya tetangga yang dilepas, punya keluarga tempat saya tinggal dikandang sebagian agar cepat besar. Saya melihat dapur, tungku arang, penampung air hujan, dan dan bau gula langsung menarik perhatian saya. Setelah seluruh rumah saya kelilingi beberapa kali, saya membaringkan diri di kasur dan berpikir. Boleh juga.

Setelah bangun rupanya sudah agak sore, kami habiskan sisa hari dengan mengobrol dan jalan-jalan sedikit, karena sore hari memang sudah bukan waktu beraktivitas.Obrolan memang lebih dekat dengan mantu yang baru menetap tadi. Tidak terasa sudah waktunya makan malam, waktu terasa begitu lambat namun cepat. Makan malam pertama saya tidak ingat, yang pasti Anton tidak ngomel lagi. Setelah itupun kami mengobrol lagi sampai malam, saya sendiri sampai pusing karena rasanya sudah tiga kali pembicaraan yang sama diulang-ulang terus. Sekitar pukul sembilan sudah waktunya tidur orang sini, saya tidak biasa tidur pukul segini, namun mata saya luar biasa berat, Anton juga sudah siap-siap tidur, dan ia tidur sangat cepat, saya sendiri baru bisa tidur jam sebelas.

Hari kedua kami bangun agak terlambat, matahari sudah panas, bapak sudah ke ladang, dan sekarang seharian tidak ada yang bisa kami lakukan. Akhirnya kami memutuskan untuk berkeliling desa, melihat siapa ada dimana, dan menelusuri desa hingga kedalam. Kami mengambil rute keluar ke arah kapel, rute itu kami lalui lagi berkali-kali sampai saya sendiri hafal beratnya tanjakan itu. Kami lebih banyak berkumpul di desa sekitar kapel, keadaannya jauh lebih mapan, air pun lancar. Saya dan Anton singgah di rumah yang sedang mengupas semacam tumbuhan kering, saya ikut membantu dan disuguhi jus jeruk, sungguh ramah sekali. Saya lupa dengar dari siapa, namun sepertinya ibu keluarga itu adalah yang paling muda dari yang lain, saya sih tidak peduli.

Setelah melalui hari yang begitu-begitu juga, saya kembali duluan sementara Anton entah dimana. Saya mandi, lalu kembali berbasa-basi. Tidak banyak yang bisa dilakukan, karena itu tidak banyak yang bisa diceritakan, setelah makan malam kami menonton tv hingga malam lalu tidur.

Hari ketiga dimulai dengan bangun lebih pagi dan ikut ke ladang. Ternyata jauhnya luar biasa, medannya jauh lebih berat lagi dengan batu-batu besar dan terjal. Setelah melihat ada ladang ternyata memang sudah selesai musim panen, bapak juga hanya mengambil pakan ternak dan kayu bakar. Ladang bapak ternyata salah satu yang paling jauh, bahkan hampir mencapai desa sebelah, ladangnya besar, diapit tiga gunung kecil, dan mulai tandus karena kemarau panjang. Mantu bapak ikut mendampingi, kami semua masing-masing memikul bawaan masing-masing, saya kebagian ranting satu ikat, bukan berat yang parah, namun karena saya tidak mendapatkan posisi yang tepat untuk memikulnya saya sering gonta ganti pundak sehingga capek duluan.
Setelah tiba di rumah, istirahat, kembali lagi ke waktu kosong yang terlalu kosong. Mencari kesibukan, kami ikut tetangga ke ladang. Ladang kali ini tidak terlalu jauh, namun karena hari sudah panas langkah kami menjadi lebih pelan. Sorenya saya menemukan hal yang mengejutkan. Sandal saya sudah menipis hingga tinggal 1/2 cm, memang ini sandal murah, namun ayolah, apa mungkin bebatuan tadi menggigit sandal?

Hari berikutnya kami kembali ke ladang, kembali memikul, 2-3 kali, lalu waktu kosong lagi. Aku melihat memang semua dilakukan perlahan-lahan karena pada dasarnya itu musim santai dan tidak banyak yang bisa dilakukan, di desa juga sama sekali tidak ada tuntutan apapun, semuanya bebas, semakin lama semakin banyak perbedaan yang bisa dirasakan antara desa dan kota.

Hari terakhir saya memakai sepatu untuk pergi ke ladang, mengingat sandal saya mungkin sudah di ambang batas, dan sepatu tentu lebih tahan dan lebih kuat menanjak. Hari ini bapak mengambil pakan segar di ranting, saya dan Anton kebagian memikul ranting lagi. Tapi ternyata setengah jalan sol sepatu saya sudah copot. Luar biasa, kalau sol tidak bisa dimakan, mereka mengincar lemnya. Akhirnya sol sepatu itu saya lepas karena kalau dibiarkan menggantung dan tersangkut saya bisa terjatuh. Di dekat puncak gunung bapak menyuruh kami untuk naik ke puncak untuk melihat pemandangan. Puncak gunung hanya sekitar 8 meter diatas, tapi jalurnya sangat sulit karena terdiri dari batuan terjal dan celah-celah yang berbahaya. Saya justru bersemangat dengan tanjakan seperti ini, sementara Anton malah menyerah di rintangan dahan dan semak pertama. Di puncak saya melihat gunung lain dan desa sebelah, gunung lain yang tidak dipakai sebagai lahan masih cukup hijau, kata bapak kalau musim hujan yang terlihat hanya warna hijau, tidak ada warna lain.

Di hari terakhir kami habiskan sisa waktu kosong dengan mengobrol dan mengobrol untuk terakhir kalinya, berbagi nomor kontak, dan ibu mulai menyiapkan oleh-oleh. Hari-hari disini mulai tidak terasa, sekarang sudah di akhir dan saya merasa banyak sekali yang belum saya lihat dan lakukan. Hari terakhir semuanya serba singkong sehingga singkong mengjadi hal yang tak terlupakan bagi saya. Dari sarapan, oleh-oleh, hingga hal terakhir yang saya sentuh, semuanya singkong, memang tidak banyak singkong yang saya petik dari ladang, namun singkong inilah yang mengingatkan saya pada semua yang saya lalui disini.

Gary XIIB-5

← Older / back up / Newer →
Blog Anak Bahasa