Kemarin Saya ke Wonosari!
POSTED ON: Minggu, 30 September 2012 @ 07.55 | 0 comments
1.
Live in. Mungkin kebanyakan orang bakalan senang mendengar kata ini.
Bagaimana tidak? Kita jalan-jalan ke desa!
Dari kebanyakan foto teman-teman saya yang mengikuti kegiatan live in,
kesannya sangaaaaat menyenangkan. Berkunjung ke desa, memakai caping dan
foto-fotoan sambil berjalan melewati jalan setapak di tengah sawah, ikut
membajak sawah sambil menyusahkan si kerbau dengan duduk leha-leha di atasnya,
menangkap lele, adalah sedikit dari kegiatan yang diberikan saat live in di
sekolah-sekolah lain. Yap, anak kota mendadak ‘ndeso’.
Tibalah saatnya program itu diberikan di sekolah saya, SMA Santa Ursula
BSD. Jika Santa Ursula yang sudah memberikan program, jangan harap program itu
bakalan sama dengan yang dibuat oleh sekolah lain. Program live in di sekolah
saya ini dikenal ‘tulen’. Maksudnya, live in dijalankan dengan arti yang
sebenarnya, bukan semata-mata untuk plesiran, tapi kita diberikan kesempatan
untuk hidup dengan irama orang desa. Live in dibuat agar kita bisa belajar dari
nilai-nilai kearifan lokal yang masih dianut oleh orang desa, bagaimana mereka
bisa berpegang teguh pada nilai itu, dan tetap hidup bahkan dengan goncangan
pengaruh modernisasi. Jangan seperti
anggota parlemen kita yang mahal-mahal pergi ke luar negeri untuk studi
banding, ujung-ujungnya malah dijadikan kesempatan untuk plesiran semata.
Dengan sangat jelas, sekolah saya sangat menghindari agar kejadian seperti itu
terjadi.
Jujur saya merasa biasa saja, karena saya siap menerima setiap kondisi yang
ada. Kalau saya harus tinggal di daerah
yang kondisinya sulit, saya sanggup
menjalankannya. Kalau saya harus tinggal di daerah yang kondisinya baik, ya
puji Tuhan. Saya benar-benar merasakan kalau tidak ada yang spesial dan tidak
mengharapkan apa-apa. Yang saya takutkan hanya dua hal, makanan pedas dan
kecoak.
Live in berlangsung dari tanggal 1-7 September. Resminya sih sampai tanggal
8, yaitu hari untuk refleksi. Lokasi yang menjadi tujuan saya adalah Wonosari.
Di Wonosari kembali dibagi ke beberapa desa, yaitu Tepus, Baran, Jati, dan Girisubo.
Kabar buruknya adalah muncul berita bahwa daerah Wonosari dan sekitarnya sedang
dilanda kekeringan. Sangat merepotkan saja, pikir saya waktu itu. Beberapa
peraturan juga dijelaskan di setiap pertemuan seperti partner saya dalam
keluarga (satu keluarga berdua), barang-barang apa saja yang harus dibawa, dos and don’ts saat live in, dll. Selain
itu kita juga secara tidak langsung dipaksa untuk mengenal partner yang nanti
akan menjadi teman hidup dalam keluarga asuh.
Akhirnya hari-H itu tiba, tanggal 1, hari Sabtu. Berat rasanya hati saya
yang tahu bakalan bolos orkestra dua kali. Tiga kali berturut-turut kalau libur
Lebaran sebelumnya juga masuk hitungan. Jam 1 siang saya ikut misa di aula dan
selesainya langsung berkumpul di hall sesuai urutan bus. Perjalanan dimulai jam
3. Waktu di bus saya habiskan buat ‘ngepoin’ Zenia, kawan berbagi kursi saya,
atau bermesraan dengan Dopi Jr., iPod saya tercinta. Bus berhenti beberapa
kali, mulai dari yang saya kebelet turun buat ke toilet sampai saya tidak kuat
turun karena kecapekan tidak bisa tidur. Saya benci perjalanan jauh dengan bus
karena tidak bisa tidur. Saran saya untuk masalah transportasi, kenapa tidak
memakai alat transportasi yang bernama kereta? Cepat, nyaman, dan relatif
murah. Daripada bus yang makan waktu lebih dari 12 jam.
Sampailah di Wonosari kira-kira jam 6 pagi. Kita transit di sebuah gereja
yang ada sekolah di belakangnya. Saya sempoyongan turun dari bus, mengambil ransel
dan berburu air untuk cuci muka. Lama setelah istirahat dan sarapan, semua alat
elektronik kami dititipkan, kemudian kami dibriefing
ke desa masing-masing dan diutus oleh pastur setempat. Uniknya, kalau desa yang
lain anak-anaknya diangkut dengan truk, khusus jurusan Tepus diangkut dengan
minibus. Asyik? Tidak juga. Saya lebih ingin naik truk. Seru aja gitu
dipepet-pepetin bareng seperti ikan sarden sambil tumbur-tumburan kalau
jalanannya tidak rata. Kenapa hanya Tepus? Karena konon, desa Tepus yang paling
susah airnya, jadi truk-truk yang masuk kesana diganti menjadi tangki air. Another bad news. Perjalanan dari gereja
ke tujuan saya memakan waktu 30 menit dengan kondisi jalanan mulus tidak macet,
jalan berkelok, dan busnya ngebut. Bayangkan betapa panjang dan terpelosoknya
daerah saya ini. Sejauh mata memandang, yang bisa dilihat hanya barisan pohon
kering dan batu yang mirip batu karang. Kering dan gersang.
Setelah bersempit-sempitan di minibus selama 30 menit, saya sampai di
sebuah kapel. Yang membuat saya kaget disini adalah penentuan orangtua asuh
dipilih lewat undian. Hmmm... terkesan tidak serius persiapannya, but whatever
lah. Juli, teman sekeluarga saya, yang ngambil undian. Setelah prosesi
pemilihan selesai, kami langsung jalan ke rumahnya yang ternyata lumayan jauh,
menanjak, terpencil, dan berbatu.
2.
Nama orangtua asuh saya Pak Kadar dan Ibu Subini. Pekerjaan mereka berdua
adalah pengrajin perak. Bapak dan ibu punya satu anak laki-laki namanya Elwi.
Elwi sudah duduk di kelas 2 SMP. Di rumah yang saya tempati tidak hanya terdiri
dari tiga orang, tapi ada juga kedua orangtua dari Pak Kadar. Perlu dicatat,
kalau orangtua Pak Kadar tidak bisa berbicara bahasa Indonesia, hanya bahasa
Jawa. Jadi kami tidak bisa mengobrol dengan mereka. Rumah yang akan saya
tinggali lumayan luas, layaknya dua rumah kecil dijadikan satu, dan sepertinya
memang begitu. Kalau melihat ke atas, terlihatlah genting merah berjajar rapi.
Lihatlah kiri kananmu, akan terlihat batu bata, semen, dan kayu. Sejauh kakimu
menapak, yang saya injak adalah tanah dan semen, tidak ada ubin ataupun kayu.
Setelah sampai di rumahnya, ibu menunjukkan kamar tidur kami. Lumayan, kasur
yang biasa dipakai untuk satu orang, harus muat untuk ditiduri berdua. Maaf ya
Juli, pardon my big body.
Berikut saya tunjukkan denah lebih
kurangnya rumah Pak Kadar :
Lebih kurang, itulah gambaran rumah Pak Kadar. Memang luas, tapi jauh dari jalan raya. Jalanan masih agak berbatu walaupun sudah ada dua jalur semen masing-masing seukuran roda ban mobil. Suara yang paling umum terdengar mulai dari suara ternak, suara obrolan orang-orang yang lewat dengan bahasa Jawa, suara angin berhembus, dan suara motor. Ngomong-ngomong soal angin, daerah yang saya tinggali ini cahaya matahari memang terasa panas dan terik, tapi hembusan anginnya sangat dingin.
Hal yang paling saya antisipasi adalah the
another most private place besides bedroom, kamar mandi. Sesudah
beres-beres selesai, saya langsung bertanya dimana kamar mandinya untuk melihat
kondisi. Ternyata inilah yang saya temukan, JENG JENG!!
Saya langsung lega. Setidaknya BUKAN yang isinya hanya bolongan saja atau yang terkenal dengan istilah WC tembak. Walaupun airnya masih harus ditimba dari bak penampungan air besar tepat di depan kamar mandi, but that’s not a problem. Kamar mandinya hanya dikelilingi pagar anyaman bambu setinggi orang dewasa. Lantainya dari semen yang tidak menyerap air. Ada sebuah WC jongkok dan tersedia dua ember kecil untuk air. Bagaimana cara mengunci pintu kalau kamar mandi sedang digunakan? Tariklah kawat di pintu kemudian ikatkan di tembok dekat pintu. Bahkan saya pernah tak sengaja liat salah satu anggota keluarga yang mandi di depan kamar mandi langsung. Tidak malu ya? Ckckck.
Sisa hari dihabiskan dengan situasi yang sangat amat canggung. Kami disuruh
istirahat, padahal saat itu kira-kira masih jam 2 siang. Jadilah kami duduk di
ruang keluarga yang sunyi. Kami hanya duduk kalau tidak di dalam ya di luar
rumah. Hal lain yang membuat kami panik adalah tidak ada guru yang menghampiri
kami sampai malam. We cluelessly spent
the rest of the day, spacing out.
Sampailah waktu tidur. Saya jadi anak baik yang jam 9 sudah tidur. Ketika
saya duduk di kasurnya, walaaaah, ini mah tidur di papan namanya. Itu kasur
saking tepos dan tipisnya sampai saya tidak sadar kalau sebenarnya saya tidur di
atas kasur! Saya paksa tidur dan akhirnya bisa juga. Tidak tahu jam berapa
waktu itu, tapi saya yakin itu tengah malam, saya terbangun. Apa yang
membangunkan saya? Suara tokek. Itu tokek berisiknya tidak tanggung-tanggung
dan tidak berhenti-berhentinya bunyi sampai saya ketiduran lagi sambil menahan
sakit pinggang gara-gara kasur tipis. Saya tidak sempat kepikiran kalau tokek
itu bisa saja tiba-tiba jatuh di atas muka saya. Saya tidak peduli.
Pagi-pagi jam 6 saya terbangun secara paksa. Bukan alarm, bukan sihir, yang
membuat saya bangun adalah suara ayam, sapi, dan kambing yang sedang
berisik-berisiknya di jam itu. Samping kamar saya adalah kandang. Saya langsung
cuci muka dan sikat gigi, tidak mandi. Disini saya hanya mandi sekali sehari
saat sore. Itupun dengan maksimal 4 gayung air. Tiap mandi saya keramas loh.
Setelah mandi saya disuguhkan sarapan. Setelah selesai makan, piring kami
langsung diambil. Kami menawarkan diri untuk mencuci piring kami sendiri tapi
tidak diperbolehkan. Saya tidak berani memaksa, takutnya tidak sopan.
Saya menemukan bapak dan ibu sedang kerja di depan rumah. Mereka sedang
berkutat pada kawat perak. Ini
kesempatan, kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan! Saya menawarkan diri untuk
membantu. Bapak dengan wajah datar berkata tidak. Ouch! Saya kira beliau bercanda, eh ternyata beneran tidak. Ditolak
mentah-mentah, rasanya jlebs! Bapak bilang saya tidak mengerti caranya, nanti
kalau saya salah mengerjakan malahan gagal dan tidak bisa dijual. Sebagai
gantinya, bapak menjelaskan apa yang dia lakukan.
Yang bapak kerjakan itu namanya proses menampar, yaitu memipihkan kawat perak. Setelah dipipihkan, baru perak bisa digunakan untuk membuat kerajinan seperti anting, bros, liontin, dll sesuai pesanan. Upah kerja bapak hanya Rp 1.500 untuk setiap gram yang beliau kerjakan dengan bahan desar bijih perak seharga Rp 10.000 per gram. Biaya pembuatan yang sangat murah untuk barang yang bernilai tinggi. Sejak penawaran pertama ditolak, penolakan lain terus bermunculan. Saat bapak dan ibu bekerja saya menawarkan diri untuk membantu dan selalu tidak diperbolehkan. Tidak ada yang bisa saya kerjakan di rumah karena memang tidak ada. Rumah tidak bisa dibersihkan karena kalau lantainya tanah, apa yang mau disapu? Tidak ada sampah juga. Jadilah saya selama 4 hari 4 malam hanya bengong.
Untuk meminimalisir bosan dan penasaran karena sudah hari kedua kami belum
melihat orang yang kami kenal lagi, kami memutuskan untuk jalan keliling.
Ketemulah 4 teman lain, tapi saat mau mencari yang lain, eh kami bertemu guru
dan disuruh kembali ke rumah
masing-masing. Dan diketahuilah kenapa rumah saya belum dikunjungi. Alasannya,
rumah saya paling jauh. Diberi tahu juga kalau akan ada refleksi tiap jam 2.
Kembalilah saya ke rumah dan bengong. (PS: saat refleksi, saya baru tahu bahwa
rumah teman-teman saya yang lain sudah berubin semua! Yang artinya?)
3.
Saya beneran tidak bohong soal bengong. Paling tidak menghabiskan
berkaleng-kaleng kerupuk (maaf ya bu!) atau melihat bapak dan ibu mengerjakan
perak. Cara kerjanya seperti membuat paper
quiling tapi kali ini bahannya perak,
bukan kertas. Saya iri sekali dengan teman yang lain. Ada yang diajak ke
pantai, ada yang diajak jalan-jalan, ada yang diajak nonton wayang (ini IRI
BANGET!!), ada yang pergi ke ladang, dll. Disuruh ke ladang aja saya rela deh
panas-panasan asal tidak bengong di rumah. Suasana tambah parah karena Elwi
sekolah dari pagi sampai sore dan selama 3 hari berturut-turut rumah ditinggalkan
ke kami berdua karena keluarga bapak pergi mengantar mbahnya berobat. Pergi
berobat sampai 2 keluarga loh yang ikut mengantar. Pernah kami ditinggalkan
karena ibu ada acara lingkungan yang dimana kita tidak diajak ikut sementara teman
yang lain diajak ikutan. Tampaknya orangtua saya itu sangat sungkan terhadap
kami. Untuk membunuh waktu, inilah yang saya hasilkan!
Ini adalah sudut pandang saya saat bengong di depan rumah. Tempat terfavorit untuk bengong karena tempatnya adem, dibawah atap dan tetap kena angin. Disini juga bapak dan ibu biasanya bekerja selain di ruang kerja. Di depan rumah ini, banyak sekali ayam yang mondar-mandir mulai dari anak ayam, mama ayam, sampai papa ayam. Tidak jarang juga melihat Kiko, salah satu anjing Elwi, yang sedang kejar-kejaran dengan ayam. Oh iya, Elwi punya 3 anjing, Riwu si mama anjing yang paling galak, Kiko anak anjing yang paling bandel, dan Semut anak anjing yang lebih muda dari Kiko tapi badanya sangat gembul dan fluffy! Sayangnya mereka kotor karena kerjaannya sepanjang hari hanya menggonggong orang yang lewat dan main gigit-gigitan sambil guling-gulingan di tanah.
Di teras ini pernah terjadi satu
kejadian lucu. Si mbah yang tidak bisa berbicara bahasa Indonesia pernah
mencoba untuk mengajak kami ngobrol. Dia ngerocos dengan bahasa Jawa dan kami hanya
dapat menggeleng kepala. Diam sebentar, dia tiba-tiba menunjuk Riwu dan bilang:
“Asu iki, asu!” Saya merasa terharu, saya mengerti bahasa Jawa sekali dalam
seumur hidup saya walaupun yang biasanya berkonotasi jelek dalam percakapan
sehari-hari.
Kedinginan karena hawa pegunungan? Mari masuk! Inilah ruang keluarga. Tempat paling favorit di malam hari untuk duduk-duduk karena satu rumah semua nonton TV! Satu TV 14 inch untuk semua. Di tempat ini biasanya saya makan dan ngemil kerupuk yang enak-enak. Ruangan ini kalau siang-siang berubah jadi keren karena ada cahaya yang masuk dari satu genting yang diganti kaca plastik. Gelap-gelap gitu tapi di tengah ruangan ada sorotan cahaya matahari dan debu yang beterbangan. Persis efek film!
Mumpung
sudah sampai di ruang serbaguna yang biasa dijadikan tempat makan, tempat
bengong, tempat nonton, atau tempat ngobrol ini, saya mau menceritakan tentang
makanan disini. Untung saja saya cocok dengan makanannya. Tiap hari palingan
nasi, indomie goreng (yap, double karbo), tahu, tempe, sop sayur yang isinya
bihun, sawi putih, dan wortel. Tidak ada makanan pedas dan aneh-aneh! Plus,
nasinya selalu hangat dan yaaaa... lumayan enak lah rasa sayur-sayurnya.
Halleluya!
4.
Maaf jika tidak ada hal spesial yang dapat saya ceritakan saat live in ini.
Mungkin berbeda sekali dengan cerita anak-anak lain, tetapi saya yakin tulisan
mereka mungkin tidak lebih panjang dari milik saya *tertawa licik*. Oleh sebab
itu, saya sangat menunggu satu hari, hari Kamis tanggal 6 September. Saatnya
pulang. Kami berpamitan di pagi hari dan disuguhkan sarapan spesial. Kalau
biasanya spesial itu menu spesial plus telur, kali ini menu spesial plus susu!
Sarapan kami mewah sekali: nasi, mie instan goreng, tahu, tempe, sop sayur,
telur, kerupuk, kue bolu, dan segelas susu. Ingat ini bukan fine dining,
hanya sarapan spesial dari desa Tepus. Bapak dan ibu memberi kami oleh-oleh
berupa ‘lempeng’ (kerupuk dari singkong) dan terus mengingatkan kami: “Mbak, nanti
kalau sudah kuliah di Yogya, jangan lupain bapak sama ibu ya. Kalau sempet main
lagi kesini.” Saya tidak bisa berkata apa-apa lagi selain amin. Setelah itu,
bapak dan ibu mengantar kami ke kapel.
Kami sampai di kapel. Disana sudah berkumpul banyak teman lain yang juga
didampingi orangtua asuh mereka. Belum berpisah saja sudah banyak yang
sesunggukkan, pipi merah, dan nafas tersenggal-sengal. Banyak sekali yang
menangis. Setelah beberapa patah kata kami kembali ke gereja dengan bus kecil
dengan waktu perjalanan yang sama.
Setibanya di gereja, kami disambut oleh teman-teman dari SMA dan SMK St.
Dominikus. Mereka membuat semacam acara ramah tamah sederhana sebagai sarana
untuk mengenal sekolah kami lebih dekat.
Rasanya sudah kangen sekali dengan rumah. Bukan karena tidak betah dengan
situasi dan kondisinya, melainkan karena kebosanan yang saya alami! Saya kangen
iPod, mandi dengan air yang sedikit royal, makan nasi goreng tek-tek, terlebih
internet!
Perjalanan pulang kami lalui dengan sangat melelahkan. Perjalanan dimulai
pukul 2 siang dari Wonosari melewati Yogyakarta namun tidak berhenti disana.
Saya ingin sekali membeli bakpia khas Yogya. Sekali waktu saat melewati kawasan
pertokoan dan kami terkena lampu merah, saya dan teman yang duduk di belakang
saya sama-sama ‘ngidam’ membeli oleh-oleh, saya ingin bakpia, dia ingin getuk.
Bus kami berhenti karena lampu merah dan terhentinya pas di depan sebuah toko
oleh-oleh. Kami dengan iseng melambai-lambaikan tangan ke arah penjaga toko,
pura-pura ingin membeli. Rupanya si penjaga toko tersenyum melihat kami.
Bukannya memberi sekotak bakpia, dia malah melambaikan tangan pada kami. Kami
membalas melambaikan tangan sambil komat-kamit menunjuk susunan kotak oleh-oleh
dari dalam bus sampai lampu hijau menyala.
Kami sampai di sekolah kira-kira pukul 6 pagi. Setelah pengarahan singkat
dari Ibu Eri, kami dipersilahkan pulang. Sepertinya saya yang paling cepat
melesat ke pintu keluar dan berlari menuju lapangan parkir sambil menghiraukan
ransel saya yang berat. Perjalanan dari sekolah ke rumah saya yang jauh
(sekolah di Tangerang, rumah di dekat Bandara) saya habiskan dengan tidur. Ingat,
saya tidak bisa tidur dalam perjalanan bus.
Akhirnya tiba juga saya di rumah tercinta. Saya kaget melihat mbak sedang mencuci baju di garasi mobil, padahal biasanya dilakukan di bagian atas rumah. Ternyata mama lupa memberi tahu saya kalau sudah tiga hari itu kawasan Jakarta dan sekitarnya sedang kesulitan air bersih yang berkepanjangan. Mbak mencuci baju di garasi karena air hanya menyala pukul 6-9 pagi dan airnya tidak sampai ke atas rumah saking kecilnya. Air yang keluar juga keruh dan berbau. Okay, my live in program continues! (PS: air mulai kembali mengalir normal kira-kira 2 minggu semenjak saya pulang live in!)
Akhirnya tiba juga saya di rumah tercinta. Saya kaget melihat mbak sedang mencuci baju di garasi mobil, padahal biasanya dilakukan di bagian atas rumah. Ternyata mama lupa memberi tahu saya kalau sudah tiga hari itu kawasan Jakarta dan sekitarnya sedang kesulitan air bersih yang berkepanjangan. Mbak mencuci baju di garasi karena air hanya menyala pukul 6-9 pagi dan airnya tidak sampai ke atas rumah saking kecilnya. Air yang keluar juga keruh dan berbau. Okay, my live in program continues! (PS: air mulai kembali mengalir normal kira-kira 2 minggu semenjak saya pulang live in!)
5.
Jadi, jika orang bertanya: “Kamu dapat apa setelah seminggu melelahkan dan
membosankan dari live in yang sangat dibanggakan sekolahmu?” Saya akan tetap
menjawab, walaupun bosan luar biasa yes, masih ada sedikit yang saya perhatikan
dan saya renungkan. Saya belajar untuk menerima keadaan. Hidup apa adanya tanpa
melihat kekurangan yang saya miliki. Bapak dan ibu hidup lebih susah daripada saya,
segala sesuatu serba susah dan berkekurangan namun mereka terima itu tanpa
mengeluh. Yang muncul dalam pikiran saya adalah, memang harus ada orang susah
untuk setiap orang sukses. Yang di atas muncul karena ditopang oleh yang di
bawah. Kalau tidak ada orang yang rela menderita hidup di bawah, tidak akan ada
yang namanya konglomerat. Dan hebatnya mereka terima hukum alam semacam itu
dengan tabah.
Selanjutnya, disini saya mendengar kata yang lazimnya disebut-sebutkan
dalam soal Bahasa Indonesia atau KWN, kerja bakti. Biasanya ini hanyalah
kata-kata yang terucap saja sebagai jawaban dari pertanyaan ulangan, namun kali
ini saya melihatnya dengan nyata. Saat bapak pernah bilang kalau dia ingin
pergi kerja bakti, hari gene pergi kerja bakti? Jadi ternyata jalan yang selama
ini saya tapaki itu adalah hasil pekerjaan bapak dan teman-temannya yang lain.
Kerja bakti membuat jalan yang seharusnya menjadi tugas pemerintah. Bapak pergi
kerja bakti dari pagi hingga menjelang sore. Namun saat pulang, bukan keluhan
yang ia bawa, melainkan peluh dan senyuman yang tulus. Teman-teman bapak yang
lain pulang bersama sambil tertawa dan makan-makan bersama. Hal ini menarik
buat saya karena kalau mau kerja bakti di kota, yang didapat hanya tertawaan
dan cemoohan. Orang kota lebih egois, dan maunya memenuhi kepentingan
sendiri-sendiri.
Last but not least, saya mendengar sebuah kutipan yang menurut saya sangat bagus. Kutipan ini
datang dari Pak Supriyadi yang punya usaha kerajinan perak yang terus
berkembang ke seluruh Indonesia. Kelompok kami menyebutnya ‘juper’ atau juragan
perak. Saat ditanya oleh kami: “Bapak sudah punya banyak uang, kenapa tidak
tinggal di Jakarta saja pak?” Beliau dengan bijaksana menjawab: “Ya, kalau ke
Jakarta itu cari uang, kalau disini cari saudara.” Unyu kaaaaan? Somehow, this quote really hit me in my
different way of thinking. Saya jadi sadar kalau hidup di kota itu kejam,
egois, dan susah. Your home is where the
heart is. Walaupun rumahmu kampung kumuh yang terpencil dan sulit air,
itulah kampungmu, rumahmu.
Oleh: Priska Patricia Rafel/XII-IPB/10
September, 2012