Pelajaran Kecil dari Desa untuk Membuat Perubahan Besar di Kota
POSTED ON: Minggu, 30 September 2012 @ 04.27 | 0 comments
Pada tanggal
2 September 2012 kami tiba di suatu aula di Wonosari untuk menjalani Live In.
Lalu aku dan teman-teman berangkat ke Girisubo dengan menaiki truk ternak.
Menaiki truk seperti ini adalah pengalaman pertama bagiku. Awalnya aku sangat excited. Apalagi anginnya sejuk. Namun
lama kelamaan aku merasa lelah juga dan ingin segera sampai. Aku langsung
membayangkan bagaimana orang-orang yang biasanya naik truk seperti ini,
ditambah ternak atau sayur-sayuran bersama mereka. Sementara aku, begini saja
sudah lelah rasanya.
Setelah
kurang lebih 45 menit, kami tiba di rumah Pak Sarjono, ketua wilayah. Di sana,
kami diberi sambutan dan disuguhi teh, gorengan, dan kacang. Sembari berkenalan
dengan keluarga yang akan kami tempati, aku mulai mengamati kondisi di desa
ini. Kesan awal yang aku dapat adalah orang-orang yang begitu ramah, bahkan
terlalu ramah untuk ukuran orang asing.
Aku dan
pasanganku, Rachel, ditempatkan di rumah keluarga Pak Karman, mbah kakung
keluarga tersebut. Aku senang sekali bisa berada di tengah keluarga yang sangat
ramah dan akrab satu sama lain. Mereka bukanlah keluarga yang seutuhnya kandung.
Ada yang tiri, ada juga yang adopsi. Namun mbah putri, mbah kakung, ibu, dan
bapak, tidak pernah terlihat membedakan. Bahkan aku tidak bisa membedakan yang
mana kandung dan bukan. Satu sama lain selalu saling menjaga, saling melayani,
saling berbagi. Terkadang aku memikirkan kondisi keluargaku di rumah, di mana
kami jarang berkumpul bersama dan seringkali bertengkar hanya karena masalah
yang kecil. Keluargaku biasanya tidak sepeduli ini satu sama lain, lebih sibuk
dengan urusan masing-masing, sangat beda dengan situasi di sini. Walaupun
anggota keluarganya ada yang tinggal di Jogja, namun kekeluargaan mereka masih
sangat terasa hangat. Komunikasi mereka selalu berjalan dengan lancar.
Awal kami
datang, aku cukup kaget karena ternyata rumah keluarga ini sudah bagus. Besar,
berubin, tembok bercat, kamar mandinya juga sudah bagus. Sangat jauh dari bayanganku
akan rumah di desa. Namun dengan kecukupan seperti itu, aku juga kaget karena
mereka menyuci piring masih menggunakan baskom, bukan air mengalir. Walaupun
awalnya aku jijik, tapi aku memaksakan diri dan akhirnya bisa juga makan tanpa merasa
jijik atau mengeluh. Mereka mengatakan “maaf sederhana” padahal menurutku makanan
tersebut sangat banyak dan enak.
Setiap hari
aku membantu Bu Titi, si mbah puteri, menjaga warungnya. Awalnya aku kira
menjaga warung itu mudah. Namun ternyata tidak semudah yang aku bayangkan. Sepertinya
aku membuat beberapa kerugian dan juga membuat beberapa pelanggan menunggu agak
lama. Namun mereka, termasuk Bu Titi, hanya tertawa saja melihat aku yang
sering panik, tidak marah sama sekali.
Suatu saat
ada seorang ibu-ibu yang ingin membeli di warung, tetapi uangnya kurang.
Ibu-ibu lainnya membayar kekurangannya dengan sukarela, dan ibu yang dibantu
spontan mengucapkan terima kasih dan berkata “berkah dalem”. Kata Bu TIti,
maksud ibu itu adalah bersyukur kepada Tuhan. Aku tidak pernah menemukan
kejadian seperti itu di kota, dimana seseorang begitu peduli dengan sesamanya,
dan seorang yang dibantu mengucap syukur kepada Tuhan.
Pada Rabu Pahing
aku dan Achel sempat satu kali ikut Bu Titi ke pasar pagi. Kami berangkat jam 4
pagi. Sebenarnya aku masih sangat mengantuk, dan aku sangat pusing di sana,
Bayangkan, berbagai bau, barang-barang, makanan mentah maupun matang, kambing, ayam,
orang-orang dengan segala belanjaannya, jadi satu di sini. Namun aku menahan
untuk mengeluh, dan akhirnya bisa bertahan juga sampai di rumah lagi. Dari sini
aku sadar bahwa mengeluh tidak dapat membantuku, dan tanpa mengeluh aku dapat
bertahan. Selain itu aku belajar bahwa bangun pagi itu baik, karena kita akan
memiliki hari yang lebih panjang dan dapat melakukan berbagai kegiatan yang
lebih berguna.
Aku juga sempat
satu kali ke ladang Pak Karman. Jalannya curam dan berbatu, sangat sulit
dilalui. Namun aku kagum dengan Pak Karman. Di usianya yang berkepala tujuh, ia
masih bisa bolak-balik ke ladang dengan lincah. Ia juga bisa hafal berbagai
jenis tanaman beserta deskripsinya dan menjelaskannya padaku dengan aura yang
senang dan sabar.
Suatu waktu
Bu Titi mencabut ketela dari tanah. Ia sangat kuat walaupun usianya sudah 60
tahun. Lalu ia mengupasnya dengan cepat dan lincah. Aku ngotot ingin
mencobanya. Aku pikir, “Ah, kayaknya gampang, gitu doang.” Dan ternyata sangat
susah, bahkan aku tidak bisa menyelesaikan satu buah ketela pun. Ia berkata
bahwa ia kuat seperti itu karena selalu rajin bekerja dan tidak
bermalas-malasan, sehingga badannya selalu fit. Aku merasa malu pada diriku
sendiri. Di usiaku yang baru seperempat usia Bu Titi ini, aku sering bermalas-malasan,
mengeluh, dan merasa lelah untuk melakukan berbagai pekerjaan. Aku juga sering
menganggap berbagai pekerjaan terlalu berat untukku. Melihat semangat dan kerja
keras Bu Titi memotivasiku untuk menjadi perempuan yang kuat, yang tidak
tergantung pada bantuan orang lain.
Devi, cucu
yang duduk di kelas 2 SMA, sempat mengajarkan aku menari jawa. Ternyata dia
penari Jawa. Sebagai pencinta tari hiphop, aku tidak menyangka tarian daerah
itu susah, karena menurutku gerakannya lamban dan berulang. Namun ternyata, aku
tidak bisa mengikuti lenggak-lenggok Devi dan malah ditertawakan karena
dibilang seperti orang habis sunat. Aku sadar bahwa kesukaanku pada budaya
asing malah membuatku menyepelekan budaya sendiri. Walaupun aku tidak dapat
menari Jawa, namun aku jadi lebih menghargai budaya Indonesia beserta
pelaku-pelaku budayanya.
Selain
kegiatan di rumah, kami juga berkunjung ke rumah tetangga. Ada Mbah Gondo dan
istrinya yang hanya hidup berdua. Mereka terbilang kekurangan. Namun mereka sangat
baik, ramah, tidak pelit, dan lucu terhadap kami semua. Mbah Gondo yang suka
menyanyi ini juga mengajarkan kami sebuah lagu yang membuat kami selalu ingat
akan Girisubo.
Ada juga
seorang ibu yang selalu mengajak mampir ke rumahnya dan menyuguhkan kami
berbagai macam makanan. Ia tidak kebagian anak-anak yang “ngenger”, namun ia melayani kami semua dengan begitu tulus. Bahkan
ia menangis saat kami akan pulang. Aku sangat terharu melihat ia begitu
menyayangi kami, padahal kami bukan siapa-siapanya dan kami hanya sempat
mengobrol, bertamu, dan makan dirumahnya.
Mereka
menerima kami apa adanya seakan kami keluarga sendiri. Mereka mau memaklumi
ketidaksopanan kami yang kami sengaja maupun tidak. Mereka mau memaklumi kami
yang tidak suka ini, tidak suka itu. Mereka selalu memberikan yang terbaik.
Saat pulang pun, aku terharu karena penduduk di sana menangisi kepergian kami.
Akhirnya aku tidak tahan untuk tidak menangis juga.
Otakku tiba-tiba menggelitik. Aku membayangkan, apabila semua pempimpin dan masyarakat berpola seperti mereka. Yakin, Indonesia bisa maju karena tidak mementingkan kepentingan pribadi masing-masing dan mengutamakan kebersamaan. Mungkin para pemimpin juga butuh live in?
Secara
keseluruhan, aku senang sekali bisa live in, karena aku dapat belajar suatu
kehidupan yang berbeda dari biasanya. Dan aku yakin dapat menjadi pribadi yang
lebih baik dari pelajaran-pelajaran kecil yang aku terima di desa. Lebih
bersyukur, lebih toleran, lebih sabar, lebih berusaha dalam mendapatkan
sesuatu, lebih peduli pada orang lain. Pada tanggal 6 September pun kami pulang
dan sampai kembali di BSD pada tanggal 7 September. Badanku yang terasa sangat
lelah terbayar oleh rasa senang akan pengalaman yang baru saja aku alami J
(Raviella Angela Limengka)
← Older / back up / Newer →
What is ABah?
Ever since: 2011
Terdiri dari 13 manusia makhluk yang berasal dari Jupiter, bertualang ke penjara hijau dan nyasar menemukan blogspot. I guess we'll keep writing on this page :)
The Crew
Vanessa
Zenia
Tessa
Astrid
Gary
Inka
Lili
Vena
Michelle
Priska
Ratna
Angie
Bagus
Tagboard
Your thoughts, and your cries. Be nice.
Pelajaran Kecil dari Desa untuk Membuat Perubahan Besar di Kota
POSTED ON: Minggu, 30 September 2012 @ 04.27 | 0 comments
Pada tanggal
2 September 2012 kami tiba di suatu aula di Wonosari untuk menjalani Live In.
Lalu aku dan teman-teman berangkat ke Girisubo dengan menaiki truk ternak.
Menaiki truk seperti ini adalah pengalaman pertama bagiku. Awalnya aku sangat excited. Apalagi anginnya sejuk. Namun
lama kelamaan aku merasa lelah juga dan ingin segera sampai. Aku langsung
membayangkan bagaimana orang-orang yang biasanya naik truk seperti ini,
ditambah ternak atau sayur-sayuran bersama mereka. Sementara aku, begini saja
sudah lelah rasanya.
Setelah
kurang lebih 45 menit, kami tiba di rumah Pak Sarjono, ketua wilayah. Di sana,
kami diberi sambutan dan disuguhi teh, gorengan, dan kacang. Sembari berkenalan
dengan keluarga yang akan kami tempati, aku mulai mengamati kondisi di desa
ini. Kesan awal yang aku dapat adalah orang-orang yang begitu ramah, bahkan
terlalu ramah untuk ukuran orang asing.
Aku dan
pasanganku, Rachel, ditempatkan di rumah keluarga Pak Karman, mbah kakung
keluarga tersebut. Aku senang sekali bisa berada di tengah keluarga yang sangat
ramah dan akrab satu sama lain. Mereka bukanlah keluarga yang seutuhnya kandung.
Ada yang tiri, ada juga yang adopsi. Namun mbah putri, mbah kakung, ibu, dan
bapak, tidak pernah terlihat membedakan. Bahkan aku tidak bisa membedakan yang
mana kandung dan bukan. Satu sama lain selalu saling menjaga, saling melayani,
saling berbagi. Terkadang aku memikirkan kondisi keluargaku di rumah, di mana
kami jarang berkumpul bersama dan seringkali bertengkar hanya karena masalah
yang kecil. Keluargaku biasanya tidak sepeduli ini satu sama lain, lebih sibuk
dengan urusan masing-masing, sangat beda dengan situasi di sini. Walaupun
anggota keluarganya ada yang tinggal di Jogja, namun kekeluargaan mereka masih
sangat terasa hangat. Komunikasi mereka selalu berjalan dengan lancar.
Awal kami
datang, aku cukup kaget karena ternyata rumah keluarga ini sudah bagus. Besar,
berubin, tembok bercat, kamar mandinya juga sudah bagus. Sangat jauh dari bayanganku
akan rumah di desa. Namun dengan kecukupan seperti itu, aku juga kaget karena
mereka menyuci piring masih menggunakan baskom, bukan air mengalir. Walaupun
awalnya aku jijik, tapi aku memaksakan diri dan akhirnya bisa juga makan tanpa merasa
jijik atau mengeluh. Mereka mengatakan “maaf sederhana” padahal menurutku makanan
tersebut sangat banyak dan enak.
Setiap hari
aku membantu Bu Titi, si mbah puteri, menjaga warungnya. Awalnya aku kira
menjaga warung itu mudah. Namun ternyata tidak semudah yang aku bayangkan. Sepertinya
aku membuat beberapa kerugian dan juga membuat beberapa pelanggan menunggu agak
lama. Namun mereka, termasuk Bu Titi, hanya tertawa saja melihat aku yang
sering panik, tidak marah sama sekali.
Suatu saat
ada seorang ibu-ibu yang ingin membeli di warung, tetapi uangnya kurang.
Ibu-ibu lainnya membayar kekurangannya dengan sukarela, dan ibu yang dibantu
spontan mengucapkan terima kasih dan berkata “berkah dalem”. Kata Bu TIti,
maksud ibu itu adalah bersyukur kepada Tuhan. Aku tidak pernah menemukan
kejadian seperti itu di kota, dimana seseorang begitu peduli dengan sesamanya,
dan seorang yang dibantu mengucap syukur kepada Tuhan.
Pada Rabu Pahing
aku dan Achel sempat satu kali ikut Bu Titi ke pasar pagi. Kami berangkat jam 4
pagi. Sebenarnya aku masih sangat mengantuk, dan aku sangat pusing di sana,
Bayangkan, berbagai bau, barang-barang, makanan mentah maupun matang, kambing, ayam,
orang-orang dengan segala belanjaannya, jadi satu di sini. Namun aku menahan
untuk mengeluh, dan akhirnya bisa bertahan juga sampai di rumah lagi. Dari sini
aku sadar bahwa mengeluh tidak dapat membantuku, dan tanpa mengeluh aku dapat
bertahan. Selain itu aku belajar bahwa bangun pagi itu baik, karena kita akan
memiliki hari yang lebih panjang dan dapat melakukan berbagai kegiatan yang
lebih berguna.
Aku juga sempat
satu kali ke ladang Pak Karman. Jalannya curam dan berbatu, sangat sulit
dilalui. Namun aku kagum dengan Pak Karman. Di usianya yang berkepala tujuh, ia
masih bisa bolak-balik ke ladang dengan lincah. Ia juga bisa hafal berbagai
jenis tanaman beserta deskripsinya dan menjelaskannya padaku dengan aura yang
senang dan sabar.
Suatu waktu
Bu Titi mencabut ketela dari tanah. Ia sangat kuat walaupun usianya sudah 60
tahun. Lalu ia mengupasnya dengan cepat dan lincah. Aku ngotot ingin
mencobanya. Aku pikir, “Ah, kayaknya gampang, gitu doang.” Dan ternyata sangat
susah, bahkan aku tidak bisa menyelesaikan satu buah ketela pun. Ia berkata
bahwa ia kuat seperti itu karena selalu rajin bekerja dan tidak
bermalas-malasan, sehingga badannya selalu fit. Aku merasa malu pada diriku
sendiri. Di usiaku yang baru seperempat usia Bu Titi ini, aku sering bermalas-malasan,
mengeluh, dan merasa lelah untuk melakukan berbagai pekerjaan. Aku juga sering
menganggap berbagai pekerjaan terlalu berat untukku. Melihat semangat dan kerja
keras Bu Titi memotivasiku untuk menjadi perempuan yang kuat, yang tidak
tergantung pada bantuan orang lain.
Devi, cucu
yang duduk di kelas 2 SMA, sempat mengajarkan aku menari jawa. Ternyata dia
penari Jawa. Sebagai pencinta tari hiphop, aku tidak menyangka tarian daerah
itu susah, karena menurutku gerakannya lamban dan berulang. Namun ternyata, aku
tidak bisa mengikuti lenggak-lenggok Devi dan malah ditertawakan karena
dibilang seperti orang habis sunat. Aku sadar bahwa kesukaanku pada budaya
asing malah membuatku menyepelekan budaya sendiri. Walaupun aku tidak dapat
menari Jawa, namun aku jadi lebih menghargai budaya Indonesia beserta
pelaku-pelaku budayanya.
Selain
kegiatan di rumah, kami juga berkunjung ke rumah tetangga. Ada Mbah Gondo dan
istrinya yang hanya hidup berdua. Mereka terbilang kekurangan. Namun mereka sangat
baik, ramah, tidak pelit, dan lucu terhadap kami semua. Mbah Gondo yang suka
menyanyi ini juga mengajarkan kami sebuah lagu yang membuat kami selalu ingat
akan Girisubo.
Ada juga
seorang ibu yang selalu mengajak mampir ke rumahnya dan menyuguhkan kami
berbagai macam makanan. Ia tidak kebagian anak-anak yang “ngenger”, namun ia melayani kami semua dengan begitu tulus. Bahkan
ia menangis saat kami akan pulang. Aku sangat terharu melihat ia begitu
menyayangi kami, padahal kami bukan siapa-siapanya dan kami hanya sempat
mengobrol, bertamu, dan makan dirumahnya.
Mereka
menerima kami apa adanya seakan kami keluarga sendiri. Mereka mau memaklumi
ketidaksopanan kami yang kami sengaja maupun tidak. Mereka mau memaklumi kami
yang tidak suka ini, tidak suka itu. Mereka selalu memberikan yang terbaik.
Saat pulang pun, aku terharu karena penduduk di sana menangisi kepergian kami.
Akhirnya aku tidak tahan untuk tidak menangis juga.
Otakku tiba-tiba menggelitik. Aku membayangkan, apabila semua pempimpin dan masyarakat berpola seperti mereka. Yakin, Indonesia bisa maju karena tidak mementingkan kepentingan pribadi masing-masing dan mengutamakan kebersamaan. Mungkin para pemimpin juga butuh live in?
Secara
keseluruhan, aku senang sekali bisa live in, karena aku dapat belajar suatu
kehidupan yang berbeda dari biasanya. Dan aku yakin dapat menjadi pribadi yang
lebih baik dari pelajaran-pelajaran kecil yang aku terima di desa. Lebih
bersyukur, lebih toleran, lebih sabar, lebih berusaha dalam mendapatkan
sesuatu, lebih peduli pada orang lain. Pada tanggal 6 September pun kami pulang
dan sampai kembali di BSD pada tanggal 7 September. Badanku yang terasa sangat
lelah terbayar oleh rasa senang akan pengalaman yang baru saja aku alami J
(Raviella Angela Limengka)
← Older / back up / Newer →