Ayunan Langkah di Tanah Berbatu

POSTED ON: Minggu, 30 September 2012 @ 09.09 | 0 comments

Pagi masih belia, namun perlahan mentari telah berjejak menuju puncak singgasananya, membagikan cahaya pada bumi yang masih membisu. Kami pun seakan tak mau kalah bersaing dengan gerak cekatan mentari kala mendaki perbukitan yang membatasi dusun Semugih dan ladang penduduk. Ada Bu Sudar, Pak Ferry, Stella, dan diriku sendiri. Tak terbayang 'kan kumulai hari dengan sebuah kemustahilan: mendaki bukit menuju ladang.
  Bu Sudar dengan kerenyahan pada suaranya berceloteh mengenai bukit tersebut. Ia bilang penduduk desa Baran, termasuk dusun kami, Semugih, menamai bukit itu Gunung Terbang. Akibat ketinggian bukit yang cukup menjulang sehingga pendakinya serasa menaiki pesawat terbang, katanya.
 Meskipun sembari berkisah dengan riang, segala kata-kata yang terlontar darinya tak sekalipun memperlambat langkah Bu Sudar. Kakinya berayun lincah melintasi medan yang cukup berat, khususnya bagi wanita berusia kepala enam seperti dirinya. Bu Sudar kerap merendah dengan mengatakan bahwa stamina itu dibangun tahunan mengingat dirinya telah terbiasa menjelajahi perbukitan itu sejak kecil.
 Aku sendiri berupaya menutupi rasa lelah yang mulai membuncah dalam diriku. Semenjak kecil, fisikku memang cenderung lemah. Aku selalu kesulitan dalam memenuhi segala aktivitas yang menuntut stamina yang prima. Jika terlampau kecapekkan, tak jarang tubuhku malah ambruk. Seringkali pula kecerobohanku turut memprovokasi kelemahan fisikku. Entah mengapa, diriku mudah sekali terjatuh lantaran tersandung ataupun terpeleset.
Ketakutan pun pada akhirnya membuahkan kewaspadaan. Kewaspadaan pun membekukan segalanya. Sepanjang perjalanan, mataku kian melekat pada sepanjang tanah perbukitan yang kususuri. Mencegah bila ada batu atau tanjakan yang 'hendak' menjegalku. Mulutku pun tetap membungkam kala menemui tanjakan sulit yang, entah bagaimana, dengan mudahnya dilalui oleh Bu Sudar, Stella, ataupun Pak Ferry.
Kuyakinkan diriku bahwa aku akan baik-baik saja. Semua hanya perlu tahu bahwa aku mampu dan tak ada yang perlu meresahkan apapun, terutama meresahkan diriku. Siapa yang suka dirinya menjadi beban bagi orang lain, terutama di tengah kenikmatan mereka? Siapa yang suka jadi pengusik dengan segala kelemahan pribadinya?
Maka biarkan deritaku jadi deritaku! Perjalananku jadi perjalananku seorang. Dan kelamaan kuamati semakin banyak batu dan tanjakan yang menyambut perjalananku.
"Mbak Vena capek, ya?"
Pertanyaan Bu Sudar pun sontak membuyarkan lamunanku dan mengalihkan pandanganku sejenak dari semua batu, tanah, dan tanjakan yang sedari tadi menemani perjalanan. Aku pun hanya menggeleng pelan seraya menyertakan sesabit senyum untuk menguatkan dustaku. Kukerahkan segala kemampuanku beraktingku senatural mungkin. Sialnya, kondisi biologisku pun tak mendukung: peluh yang membanjir, wajah yang memucat dan nafas yang terengah.
Bu Sudar pun hanya tersenyum dan menyarankan kami semua untuk beristirahat sejenak. Disodorkannya sebotol air mineral, dan cemplon, buatanku dan Stella,yang memang telah disiapkan sebagai bekal kami sepanjang perjalanan. Sembari menenggak air, kusapukan pandangan pada pemandangan yang terhampar di bawah perbukitan. Perumahan penduduk beserta barisan pepohonan yang nampak kecil dari kejauhan begitu elok dijamah sinar mentari. Dapat kulihat Gua Braholo, gua bersejarah yang dulunya pernah menyimpan fosil-fosil masa lampau, menghiasi perbukitan di seberang.
"Dari sini pemandangannya bagus juga, ya," celetukku spontan.
"Lha, daritadi jalan, kan, emang pemandangannya begini," sahut Pak Ferry sembari menjeprat-jepret pemandangan itu dengan kamera yang digantung di lehernya.
Aku terhenyak sesaat. Sedari tadi yang kulihat hanyalah...batu, tanah kering, dan tanjakan. Bila tadi kualihkan sebentar pandanganku, mataku kan bertemu penyegaran berupa pemandangan yang jarang kujumpai di perkotaan.
Kami pun melanjutkan perjalanan setelah sepuluh menit berehat. Selanjutnya, aku seakan enggan melewatkan pemandangan-pemandangan menarik di sekitarku. Perlahan kulupakan segala macam batu, tanjakan atau jegalan-jegalan dalam wujud apapun. Kudongakkan kepalaku sembari melangkah. Terkadang kudapati Stella, yang memang selalu berjalan di depanku, menjulurkan tangannya padaku. Saat itulah tercetus sebuah peringatan mengenai tanjakan yang melintang di depanku. Begitulah yang terjadi seterusnya. Peringatan dan uluran tangan kian bersusulan sepanjang perjalanan sehingga jarak sekitar empat kilometer itu pun terpungkasi.
Sesampainya di ladang pun tenagaku seakan masih membeludak. Semangatku terpompa untuk menyambut aktivitas baru yang bisa kulakukan di sana untuk menolong Bu Sudar. Nyatanya, kondisi ladang sendiri hampir melompong akan hasil bumi akibat musim kemarau berkepanjangan. Hanya ada sedikit kacang panjang yang bisa kami petik...
"Ya, memang begini, Mbak," tukas Bu Sudar perlahan. "Kalau kemarau, ya, nggak panen. Waktu itu ketelanya sudah dipanen semua."
Bu Sudar pun mulai bercerita mengenai hasil ladang yang belum tentu selalu melimpah. Jarak antara ladang dan desa yang cukup jauh pun kerap menyulitkan pengangkutan hasil panen sehingga diperlukan penyewaan transportasi yang cukup meraup biaya. Sempat terbesit dalam benaknya untuk menjual ladang tersebut, namun teringat amanat suaminya sebelum wafat untuk mempertahankan ladang tersebut.
"Amanat orang sebelum meninggal itu harus dijaga, Mbak," jelas Bu Sudar padaku dan Stella seakan sadar bahwa wujud keprihatinan telah menggantung di ujung lidah.
Kami pun akhirnya memulai perjalanan pulang dengan memboyong segelintir kacang panjang. Aku membayangkan bahwa bawaan yang ringan itu seakan menjadi beban berat tertentu bagi kondisi finansial keluarga Bu Sudar. Ketela, hasil utama ladang pun tak dapat kami boyong kali ini.
Dari kejauhan, kudengar seseorang meneriakkan nama Bu Sudar. Bu Sudar pun lantas melambaikan tangan pada seorang petani tua yang tengah berehat di ladangnya, yang letaknya tak jauh dari ladang Bu Sudar. Kami pun serempak menghampirinya. Rambut yang keperakan serta kulit yang telah berkerut sana-sini merupakan jejak usianya yang telah melintasi lebih dari enam puluh tahun. Tak ayal, hari-harinya tetap tak lepas dari cangkul, ladang, kemarau dan jarak panjang yang membatasi rumahnya dan ladang. Kala kami menghampirinya, senyumnya mengembang seakan hendak memamerkan gigi-giginya yang telah banyak tanggal. Mulailah ia bertukar kata dengan Bu Sadar menggunakan bahasa Jawa yang hanya bisa kuartikan setengah-tengah.
"Baru dari ladang, Mbak?" tanyanya ramah padaku dan Stella.
"Inggih, Mbah," jawab kami sekenanya.
"Cantik-cantik disuruh naik gunung," ujarnya memecah tawa. "Sini, Mbah mau ngasih ketela..."
Aku dan Stella lantas melontarkan kekagetan. Bu Sudar pun sempat menolak secara halus, namun si Mbah itu pun malah sibuk mencabut ketela dengan perkakasnya. Jadilah ketela, yang awalnya hanya menghiasi angan, ikut meramaikan bakul Bu Sudar. Ketela, yang mungkin harganya rendah di pasaran dan tetap menjadi komoditas utama desa Baran ini menjadi milik kami cuma-cuma. Rasa bersalah dan iba pun sempat menggantung di hatiku membayangkan kebaikan si Mbah mungkin malah menghimpit pemasukannya sendiri hingga kata-kata Bu Sudar kembali mengetuk batinku.
"Sudahlah, yang namanya rezeki jangan pernah ditolak," ujar Bu Sudar ringan. "Toh, kita hidup bersama juga. Si Mbahnya memang baik, nanti kita kasihkan sesuatu juga."
Aku mengiyakan dan kurasakan hatiku merubah arahnya yang semula. Yang kutahu selama ini kebaikan ialah kebungkaman, kerelaan berjuang lebih untuk tidak membebani, merupakan tugasku pribadi untuk melayani. Semakin padat beban yang menjejali hatiku. Aku tak mau menggaduhkanmu hingga seakan kulupa kehadiranmu sendiri...
Tetapi kala kulihat dusun Semugih, desa Baran, Gunungkidul, kudapati kebaikan layaknya siklus bersusulan antara masyarakat yang saling melengkapi dan mengucur di atas tanah Baran. Bersama saudara-saudaraku kudapati kehidupan Baran tak lagi kering maupun berbatu. 
Maria Vivekaviarti
 seberkas kenanangan dari Baran





← Older / back up / Newer →
Blog Anak Bahasa