"Tak apa-apa."
POSTED ON: Minggu, 30 September 2012 @ 07.12 | 0 comments
Aku
terperangah menyaksikan gelas kaca itu terguling. Setengah gelas teh manis yang
ada di dalamnya tumpah dan membasahi tikar di mana aku dan keluarga asuhku
sedang makan malam. Tak diragukan lagi, tikar berbahan anyaman itu akan menjadi
lengket dan mengundang semut. Aku menggigit bibir; nasi sudah menjadi bubur.
Serentetan
kata maaf meluncur dari bibirku, ditujukan kepada Ibu Harti. Aku sungguh merasa
tak enak pada beliau. Sudah hanya menumpang, menghabiskan air dan makanan,
bikin kotor pula. Hebat sekali aku.
Aku
terbengong ketika beliau hanya tertawa ringan dan kemudian menyodorkan lap
untuk membersihkan sisa-sisa teh di tikar.
“Tak apa-apa, tak apa-apa,” demikian beliau menanggapi permohonan maafku. Senyumannya tak goyah, tanda bahwa maafku diterima dengan sepenuh hati.
“Tak apa-apa, tak apa-apa,” demikian beliau menanggapi permohonan maafku. Senyumannya tak goyah, tanda bahwa maafku diterima dengan sepenuh hati.
Bagiku,
ini adalah salah satu hal yang menggelitik selama empat hari aku tinggal di
rumah Pak Saryono dan Ibu Harti. Setelah terbiasa tinggal di rumahku sendiri,
di mana setiap kesalahan kecil ditanggapi dengan teriakan penuh kemarahan
ataupun sindiran, mendapati perlakuan seperti ini membuatku merasa agak kagok.
Selama live-in, tak pernah sekalipun
kesalahanku ditanggapi dengan kata-kata tajam; hanya dengan tawa ringan dan
lambaian tangan yang menandakan bahwa mereka tak menganggap serius
kesalahan-kesalahan kecil semacam itu.
Awalnya
aku mengira bahwa perlakuan semacam ini kuperoleh karena aku adalah tamu di
rumah mereka, tetapi setelah beberapa hari, aku menyadari bahwa ini sama sekali
bukan perlakuan yang spesial bagi mereka. Tak pernah sekalipun kulihat Bu Harti
atau Pak Saryono memaki atau memarahi ketika kedua anak mereka, Endah dan
Nadin, berbuat salah. Gelas yang terbalik, makanan yang tumpah, sampah yang tak
sengaja tercecer... Semua itu tak pernah memancing kemarahan mereka. Bagi
mereka, kesalahan ada untuk ditertawakan, dan untuk dijadikan pengalaman agar
kesalahan tersebut tidak terulang lagi.
Di
kota, masih bisakah aku mendapati perlakuan seperti ini? Sepertinya, di kota,
tepatnya di rumahku sendiri, setiap kesalahan kecil dapat memancing begitu
banyak kemarahan. Setiap gerakanku di rumah selalu diiringi dengan kewaspadaan,
dan setiap kesalahan yang kuperbuat selalu diiringi dengan rasa takut akan
sindiran dan kemarahan. Demikian pula denganku sendiri; aku begitu mudah merasa
marah atas kesalahan orang lain. Begitu mudah aku merasa tidak puas akan
keadaan di sekitarku. Begitu mudah kemarahanku tersulut oleh kesalahan-kesalahan
kecil, bahkan kalaupun kesalahan-kesalahan tersebut kulakukan sendiri.
Dari
pengalaman ini, aku belajar bahwa kesalahan adalah pelajaran, bukan kegagalan.
Kesalahan adalah kesempatan bagi seseorang untuk menertawakan sekaligus
memperbaiki diri sendiri. Tanpa adanya kesalahan, tak akan ada perkembangan
dalam diri seseorang. Sayangnya, dalam kehidupan sehari-hari, seringkali
kesalahan dianggap sebagai suatu kegagalan; suatu kesempatan untuk memarahi
orang lain. Apakah ini merupakan salah satu efek dari kehidupan di kota besar
yang selalu diburu oleh waktu dan dibebani oleh begitu banyak kewajiban?
Entahlah. Yang pasti, dari keluargaku di Girisubo, aku telah belajar bagaimana
seharusnya memperlakukan suatu kesalahan; bukan dengan kemarahan dan makian,
melainkan dengan tawa dan sikap lapang dada.
Inka Irina
XII-IPB/6
Inka Irina
XII-IPB/6