Belajar dari Sapi - Michelle
POSTED ON: Minggu, 30 September 2012 @ 00.06 | 0 comments
Desa Baran
namanya, sebuah desa yang terletak di Wonosari, Jawa Tengah. Setiap desa pasti memiliki ciri
khas berikut: rumah-rumah sederhana berjajar dan sebagian besar terdapat
kandang-kandang hewan ternak pada halaman rumahnya. Sama seperti desa itu.
Setiap aku berjalan-jalan mengelilingi desa, pandangan mata tidak pernah
terlepas dari kandang-kandang sapi dan kambing. Baunya yang tidak sedap juga
kerap kali menusuk hidung, sampai-sampai aku harus sedikit berlari sambil
menutup hidung saat melewati kandang.
Dalam tulisan
ini, saya akan menyoroti sapi sebagai topik pembicaraan. Bukan hanya sebagai
hewan yang sekedar ada, namun juga memiliki banyak manfaat, mulai dari susu,
daging, hingga kulitnya. Saya mendapatkan beberapa pengalaman menarik dengan
sapi, yang orang lain pikir biasa saja, tapi memiliki sebuah makna bagi saya.
Kebanyakan merupakan pengalaman lucu yang timbul dari pikiran absurd saya.
Dimulai dari ketika
saya berkunjung ke rumah tetangga saya di desa Baran, saya mengamati bahwa sapi
itu hewan yang rakus dan tidak pernah kenyang. Selain tidak pernah berhenti
mengunyah makanan, sapi doyan segala jenis dedaunan, mulai dari daun pohon
pisang, rumput, hingga daun singkong. Bahkan kulit singkong maupun gaplek
(singkong yang telah dikeringkan) pun disantap dengan lahap. Dari situ saya
berpikir bahwa sapi juga sama dengan manusia yang tidak pernah kenyang dan
puas. Apa saja yang dapat kita ambil akan diambil dan terkadang tidak melihat
resiko atas keserakahan kita. Sapi bisa saja sakit gara-gara salah makan bukan?
Sama halnya dengan manusia.
Ada sebuah
pengalaman lucu yang saya temui juga berkaitan dengan sapi. Suatu sore saya
hendak mengunjungi rumah teman saya. Saya melewati sebuah kandang sapi di
pinggir jalan setapak dan menemukan sebuah keanehan yang membuat saya
tergelitik. Sapi putih itu besar, tapi matanya sipit! Sungguh, dilihat dari
dekat pun matanya hanya segaris. Saya tidak tahu matanya memang begitu ataukah sedang
tidur. Pikiran saya yang absurd membuat saya berkata pada seorang teman, ‘wih
sapinya oriental! Dari China atau Jepang ya?’ dan dibalasnya ‘kalau dimasak
kayaknya jadi sapi lada hitam’. Lalu
kami tertawa terbahak-bahak sambil mengamati sapi itu sekali lagi sebentar,
lalu melanjutkan perjalanan.
Pengalaman paling
berkesan adalah dengan sapi milik mbah Pi (rumah tempat saya live in). Beliau
memiliki seekor sapi yang baru berusia 7 bulan. Di saat saya menganggur, saya
duduk di depan pintu halaman belakang, menikmati angin sepoi-sepoi dan
mengamati kehidupan di halaman belakang. 8 ekor ayam, seekor anak kambing, dan
sapi yang tadi saya sebutkan. Kandang sapi dan kambing itu dibangun
berdampingan. Saat itu saya melihat mbah Pi sedang memberi dedaunan pada tempat
makan sapi, namun tidak(belum) pada
tempat makan si kambing. Si sapi mulai melahapnya selama beberapa detik, lalu
si kambing yang mungkin merasa iri mulai mengembik keras berkali-kali. Lucunya,
si sapi berhenti makan, lalu membawa beberapa helai daun pada mulutnya dan
menaruhnya pada kandang si kambing lalu menjilati kepala si kambing. Aku yang
hanya mengamati terheran-heran bahwa hewan ternak juga memiliki perasaan dan
mau berbagi seperti seorang sahabat. Aku merasa tersentil. Kalau sapi saja bisa
akur dengan kambing yang beda spesies, kenapa aku dan adikku yang sedarah
tidak? Lalu apakah kita mau berperasaan dan berbagi dengan sesama?
back up / Newer →
What is ABah?
Ever since: 2011
Terdiri dari 13 manusia makhluk yang berasal dari Jupiter, bertualang ke penjara hijau dan nyasar menemukan blogspot. I guess we'll keep writing on this page :)
The Crew
Vanessa
Zenia
Tessa
Astrid
Gary
Inka
Lili
Vena
Michelle
Priska
Ratna
Angie
Bagus
Tagboard
Your thoughts, and your cries. Be nice.
Belajar dari Sapi - Michelle
POSTED ON: Minggu, 30 September 2012 @ 00.06 | 0 comments
Desa Baran
namanya, sebuah desa yang terletak di Wonosari, Jawa Tengah. Setiap desa pasti memiliki ciri
khas berikut: rumah-rumah sederhana berjajar dan sebagian besar terdapat
kandang-kandang hewan ternak pada halaman rumahnya. Sama seperti desa itu.
Setiap aku berjalan-jalan mengelilingi desa, pandangan mata tidak pernah
terlepas dari kandang-kandang sapi dan kambing. Baunya yang tidak sedap juga
kerap kali menusuk hidung, sampai-sampai aku harus sedikit berlari sambil
menutup hidung saat melewati kandang.
Dalam tulisan
ini, saya akan menyoroti sapi sebagai topik pembicaraan. Bukan hanya sebagai
hewan yang sekedar ada, namun juga memiliki banyak manfaat, mulai dari susu,
daging, hingga kulitnya. Saya mendapatkan beberapa pengalaman menarik dengan
sapi, yang orang lain pikir biasa saja, tapi memiliki sebuah makna bagi saya.
Kebanyakan merupakan pengalaman lucu yang timbul dari pikiran absurd saya.
Dimulai dari ketika
saya berkunjung ke rumah tetangga saya di desa Baran, saya mengamati bahwa sapi
itu hewan yang rakus dan tidak pernah kenyang. Selain tidak pernah berhenti
mengunyah makanan, sapi doyan segala jenis dedaunan, mulai dari daun pohon
pisang, rumput, hingga daun singkong. Bahkan kulit singkong maupun gaplek
(singkong yang telah dikeringkan) pun disantap dengan lahap. Dari situ saya
berpikir bahwa sapi juga sama dengan manusia yang tidak pernah kenyang dan
puas. Apa saja yang dapat kita ambil akan diambil dan terkadang tidak melihat
resiko atas keserakahan kita. Sapi bisa saja sakit gara-gara salah makan bukan?
Sama halnya dengan manusia.
Ada sebuah
pengalaman lucu yang saya temui juga berkaitan dengan sapi. Suatu sore saya
hendak mengunjungi rumah teman saya. Saya melewati sebuah kandang sapi di
pinggir jalan setapak dan menemukan sebuah keanehan yang membuat saya
tergelitik. Sapi putih itu besar, tapi matanya sipit! Sungguh, dilihat dari
dekat pun matanya hanya segaris. Saya tidak tahu matanya memang begitu ataukah sedang
tidur. Pikiran saya yang absurd membuat saya berkata pada seorang teman, ‘wih
sapinya oriental! Dari China atau Jepang ya?’ dan dibalasnya ‘kalau dimasak
kayaknya jadi sapi lada hitam’. Lalu
kami tertawa terbahak-bahak sambil mengamati sapi itu sekali lagi sebentar,
lalu melanjutkan perjalanan.
Pengalaman paling
berkesan adalah dengan sapi milik mbah Pi (rumah tempat saya live in). Beliau
memiliki seekor sapi yang baru berusia 7 bulan. Di saat saya menganggur, saya
duduk di depan pintu halaman belakang, menikmati angin sepoi-sepoi dan
mengamati kehidupan di halaman belakang. 8 ekor ayam, seekor anak kambing, dan
sapi yang tadi saya sebutkan. Kandang sapi dan kambing itu dibangun
berdampingan. Saat itu saya melihat mbah Pi sedang memberi dedaunan pada tempat
makan sapi, namun tidak(belum) pada
tempat makan si kambing. Si sapi mulai melahapnya selama beberapa detik, lalu
si kambing yang mungkin merasa iri mulai mengembik keras berkali-kali. Lucunya,
si sapi berhenti makan, lalu membawa beberapa helai daun pada mulutnya dan
menaruhnya pada kandang si kambing lalu menjilati kepala si kambing. Aku yang
hanya mengamati terheran-heran bahwa hewan ternak juga memiliki perasaan dan
mau berbagi seperti seorang sahabat. Aku merasa tersentil. Kalau sapi saja bisa
akur dengan kambing yang beda spesies, kenapa aku dan adikku yang sedarah
tidak? Lalu apakah kita mau berperasaan dan berbagi dengan sesama?
back up / Newer →