Foto ABah

POSTED ON: Jumat, 23 November 2012 @ 19.12 | 0 comments



Hatiku masih di singkong

POSTED ON: Minggu, 11 November 2012 @ 07.29 | 0 comments

Perjalanan Live in dilakukan dengan bus, setibanya di lokasi kami tidak langsung ke desa, melainkan dikumpulkan dahulu di gedung serba guna. Perjalanan dengan bus sungguh luar biasa, malam terasa begitu panjang karena saya sudah puas tidur dari siang. Tidak terhitung berapa pit stop yang kami lewati, yang pasti harga cup mie semakin mahal di setiap stop. Setelah diberi makan siang, kami di briefing sebelum berangkat ke desa masing-masing. Perjalanan menuju desa dilakukan dengan truk, dan luar biasa sekali kawan-kawan, jalan yang kami lalui sangat mulus, tapi bergelombang naik turun yang cukup membuat perut saya terbalik.

Desa saya adalah desa Jati, kami diturunkan di kapel dan dipasangkan dengan orang tua asuh kami disana. Bapak asuh kami orangnya agak tua, lebih pendek dari saya, namun terasa sekali orangnya tangguh dan tubuhnya kokoh. Saya tinggal bersama dengan Anton, kami tidak dekat, tapi tidak bermasalah. Bapak menuntun kami ke rumahnya dengan berjalan kaki, tidak disangka rumahnya lumayan jauh dari kapel. Jauh mungkin bukan kata yang tepat, karena medan naik turun lengkap dengan tikungan tajam lah yang membuat perjalanan itu lumayan berat.

Di rumahnya, kami disambut oleh setiap orang dirumah, dan setiap hewan dan ternak yang ada disana juga. Saya dan Anton langsung dijamu semacam ketan, keripik singkong, dan teh manis. Teh manisnya sesuai dugaan, 120% manis, keripik singkongnya mantab, dan ketannya.... Saudara-saudara, ketannya belum sempurna berfermentasi dan ketika saya buka getahnya masih bergelembung. Rasanya luar biasa asam, tidak tajam namun memberikan kesan yang tidak enak di lidah untuk waktu yang lama. Saya berusaha menghabiskan satu dengan bantuan teh manis dan keripik singkong. Tapi Anton tiba-tiba berceloteh "Gua ga bisa makan yang kayak begini" dengan muka kecut yang pasti karena rasa ketannya. Ahh Anton, ingin sekali aku memasukkan 1 bungkus ketan itu kemulutmu saat itu juga, ingin juga aku berceloteh macam-macam, tapi semua pikiran itu kutelan dan yang tersisa hanya kata-kata halus "Habiskan Ton..."

Kami mengobrol dengan setiap orang di kota, pembicaraan awalnya seputar keluarga bapak, dengan Anton sebagai juru bicara tentunya, karena saya lebih suka mendengar dan mengamati dan bertanya hal yang Anton lewati. Arah pembicaraan segera beralih ke suami dari putri bungsu bapak, yang baru 6 bulan pindah dan menetap disini. Jelas saja kami lebih nyambung, mas yang satu ini masih sangat terasa orang kotanya, ceritanya panjang, banyak yang bisa kita bandingkan, dan lebih banyak basa-basi ala orang kota.

Pembicaraan tidak berlangsung begitu lama, selain karena tidak mungkin semua topik kita habiskan dalam sehari, kami disuruh tidur siang dahulu karena pasti capai setelah perjalanan jauh. Kami diantar menuju kamar kami, melewati ruang tv yang besarnya 1/2 rumah saya. Nampak dengan sangat mencolok, singkong yang sudah terkupas, dikeringkan, dan siap dijual tertimbun rapi di sudut ruangan dan banyaknya hampir memenuhi seluruh tembok. Saya hanya terdiam, dalam benak saya imajinasi saya mencangkul atau mencabut singkong saya bakar, sementara Anton basa-basi lagi dengan bertanya itu apa. Kamar kami hanya berjarak satu meter dari ruang tv tadi, tiga meter dari kamar mandi, dan bersebelahan dengan pintu keluar. Kamar kami cukup luas, ranjangnya hanya satu namun cukup besar untuk tidur dengan jarak aman.Kamar mandinya kecil dan nampak baru, ternyata memang baru dibangun beberapa bulan lalu bersama dengan tangki air disebelahnya. Setelah menaruh tas kami, Anton masih ingin mengobrol sebentar, sementara saya ingin bertualang mengelilingi rumah dahulu. Saya keluar dan melihat kandang kambing, sapi, ayam, dan bebek. Sama sekali tidak jauh dari bayangan, bau yang ada juga sudah saya perkirakan jadi paling tidak saya tidak shock, dan semuanya begitu jinak, kecuali ayam-ayamnya yang menjadi raja disini, mereka berkeliaran di mana-mana, sebagian memang punya tetangga yang dilepas, punya keluarga tempat saya tinggal dikandang sebagian agar cepat besar. Saya melihat dapur, tungku arang, penampung air hujan, dan dan bau gula langsung menarik perhatian saya. Setelah seluruh rumah saya kelilingi beberapa kali, saya membaringkan diri di kasur dan berpikir. Boleh juga.

Setelah bangun rupanya sudah agak sore, kami habiskan sisa hari dengan mengobrol dan jalan-jalan sedikit, karena sore hari memang sudah bukan waktu beraktivitas.Obrolan memang lebih dekat dengan mantu yang baru menetap tadi. Tidak terasa sudah waktunya makan malam, waktu terasa begitu lambat namun cepat. Makan malam pertama saya tidak ingat, yang pasti Anton tidak ngomel lagi. Setelah itupun kami mengobrol lagi sampai malam, saya sendiri sampai pusing karena rasanya sudah tiga kali pembicaraan yang sama diulang-ulang terus. Sekitar pukul sembilan sudah waktunya tidur orang sini, saya tidak biasa tidur pukul segini, namun mata saya luar biasa berat, Anton juga sudah siap-siap tidur, dan ia tidur sangat cepat, saya sendiri baru bisa tidur jam sebelas.

Hari kedua kami bangun agak terlambat, matahari sudah panas, bapak sudah ke ladang, dan sekarang seharian tidak ada yang bisa kami lakukan. Akhirnya kami memutuskan untuk berkeliling desa, melihat siapa ada dimana, dan menelusuri desa hingga kedalam. Kami mengambil rute keluar ke arah kapel, rute itu kami lalui lagi berkali-kali sampai saya sendiri hafal beratnya tanjakan itu. Kami lebih banyak berkumpul di desa sekitar kapel, keadaannya jauh lebih mapan, air pun lancar. Saya dan Anton singgah di rumah yang sedang mengupas semacam tumbuhan kering, saya ikut membantu dan disuguhi jus jeruk, sungguh ramah sekali. Saya lupa dengar dari siapa, namun sepertinya ibu keluarga itu adalah yang paling muda dari yang lain, saya sih tidak peduli.

Setelah melalui hari yang begitu-begitu juga, saya kembali duluan sementara Anton entah dimana. Saya mandi, lalu kembali berbasa-basi. Tidak banyak yang bisa dilakukan, karena itu tidak banyak yang bisa diceritakan, setelah makan malam kami menonton tv hingga malam lalu tidur.

Hari ketiga dimulai dengan bangun lebih pagi dan ikut ke ladang. Ternyata jauhnya luar biasa, medannya jauh lebih berat lagi dengan batu-batu besar dan terjal. Setelah melihat ada ladang ternyata memang sudah selesai musim panen, bapak juga hanya mengambil pakan ternak dan kayu bakar. Ladang bapak ternyata salah satu yang paling jauh, bahkan hampir mencapai desa sebelah, ladangnya besar, diapit tiga gunung kecil, dan mulai tandus karena kemarau panjang. Mantu bapak ikut mendampingi, kami semua masing-masing memikul bawaan masing-masing, saya kebagian ranting satu ikat, bukan berat yang parah, namun karena saya tidak mendapatkan posisi yang tepat untuk memikulnya saya sering gonta ganti pundak sehingga capek duluan.
Setelah tiba di rumah, istirahat, kembali lagi ke waktu kosong yang terlalu kosong. Mencari kesibukan, kami ikut tetangga ke ladang. Ladang kali ini tidak terlalu jauh, namun karena hari sudah panas langkah kami menjadi lebih pelan. Sorenya saya menemukan hal yang mengejutkan. Sandal saya sudah menipis hingga tinggal 1/2 cm, memang ini sandal murah, namun ayolah, apa mungkin bebatuan tadi menggigit sandal?

Hari berikutnya kami kembali ke ladang, kembali memikul, 2-3 kali, lalu waktu kosong lagi. Aku melihat memang semua dilakukan perlahan-lahan karena pada dasarnya itu musim santai dan tidak banyak yang bisa dilakukan, di desa juga sama sekali tidak ada tuntutan apapun, semuanya bebas, semakin lama semakin banyak perbedaan yang bisa dirasakan antara desa dan kota.

Hari terakhir saya memakai sepatu untuk pergi ke ladang, mengingat sandal saya mungkin sudah di ambang batas, dan sepatu tentu lebih tahan dan lebih kuat menanjak. Hari ini bapak mengambil pakan segar di ranting, saya dan Anton kebagian memikul ranting lagi. Tapi ternyata setengah jalan sol sepatu saya sudah copot. Luar biasa, kalau sol tidak bisa dimakan, mereka mengincar lemnya. Akhirnya sol sepatu itu saya lepas karena kalau dibiarkan menggantung dan tersangkut saya bisa terjatuh. Di dekat puncak gunung bapak menyuruh kami untuk naik ke puncak untuk melihat pemandangan. Puncak gunung hanya sekitar 8 meter diatas, tapi jalurnya sangat sulit karena terdiri dari batuan terjal dan celah-celah yang berbahaya. Saya justru bersemangat dengan tanjakan seperti ini, sementara Anton malah menyerah di rintangan dahan dan semak pertama. Di puncak saya melihat gunung lain dan desa sebelah, gunung lain yang tidak dipakai sebagai lahan masih cukup hijau, kata bapak kalau musim hujan yang terlihat hanya warna hijau, tidak ada warna lain.

Di hari terakhir kami habiskan sisa waktu kosong dengan mengobrol dan mengobrol untuk terakhir kalinya, berbagi nomor kontak, dan ibu mulai menyiapkan oleh-oleh. Hari-hari disini mulai tidak terasa, sekarang sudah di akhir dan saya merasa banyak sekali yang belum saya lihat dan lakukan. Hari terakhir semuanya serba singkong sehingga singkong mengjadi hal yang tak terlupakan bagi saya. Dari sarapan, oleh-oleh, hingga hal terakhir yang saya sentuh, semuanya singkong, memang tidak banyak singkong yang saya petik dari ladang, namun singkong inilah yang mengingatkan saya pada semua yang saya lalui disini.

Gary XIIB-5

Serpihan Memori

POSTED ON: Minggu, 30 September 2012 @ 10.55 | 0 comments


       Kau terdiam disana, mencoba untuk merangkai kembali kata-kata yang kau perlukan untuk tugasmu. Ha! Kau terlihat bingung, terlihat ragu. Kenapa, hm? Bukankah kau jago dalam merangkai kalimat, menjadi buket tulisan, seperti ketika kau mengerjakan soal-soal esai di sekolah? Seharusnya kau bisa saja langsung menuliskan detil pengalamanmu selama 4 hari berada di sana, bukan? 

      Yah, kau merasa dirimu bukanlah tipe orang yang pintar dalam merangkai kata-kata menjadi kalimat yang runtut… Tapi, hei, lihatlah jam, lihatlah kalender yang tergantung di kamarmu itu! Waktu tidak akan pernah adil bagi siapapun, termasuk buat orang-orang yang kelimpungan seperti dirimu. Ataukah kau hanya menganggap dua benda tadi ornamen untuk memenuh-menuhi kamar?

      Kau menghela nafas berat, merasa kesusahan dengan semua tugas ini. Belum ditambah dengan ulangan atau tugas lain. Maka dengan sangat terpaksa kau mencobanya. Setelah sampai di rumah orangtua angkatmu, kau teringat bahwa kau berbincang-bincang dengan sang nenek, sang kakek yang kau tinggali. Yah, kau memang memiliki waktu yang menyenangkan dengan mereka selama bermalam di sana. Dan kau juga sedikit bersyukur bukan, karena ternyata di sana kau dan anak-anak yang mengikuti live in tidak benar-benar hanya berdiam diri di rumah. Banyak acara desa yang bisa kau lihat. Apalagi kau juga suka berjalan-jalan untuk membunuh waktu.

      Tiba-tiba perutmu berbunyi, berdemonstrasi meminta untuk diisi. Ngomong-ngomong soal perut, tiba-tiba kau teringat sesuatu: makanan yang disuguhkan di rumahmu tinggal sangatlah ENAK! Kau teringat ketika pertama kali kau tiba di rumah itu, sang nenek menyuguhkan kepadamu dan teman serumahmu keripik singkong yang namanya… Satelit. Kau terkekeh pelan, masih tidak percaya keripik yang terlihat sangatlah simpel itu; hanya keripik singkong biasa; bisa memiliki nama sekeren itu.

      Tapi setidaknya nama dan rasanya sama-sama keren. Sampai sekarang saja kau masih menganggap keripik singkong itu adalah salah satu nirwana dunia. Mungkin terdengar berlebihan, tapi memang begitu keadaannya. Dan oh, ya ampun, masakan sang nenek! Memang, tidak terlihat semewah masakan yang kau selalu makan di rumah, tapi selalu terasa lezat, baik sebelum mengisi hari-harimu disana yang begitu berwarna namun juga melelahkan, ataupun juga sebagai menu penutup hari yang manis.

      Kau juga melihat bagaimana kehidupan disana, walaupun terlihat rendah hati dan simpel, namun tetap menunjukkan warna-warna tersendiri. Ingat kan, bagaimana acara-acara adat disana? Saat kau dan anak-anak yang lain mengikuti acara long march keliling desa? Atau… Mungkin saja acara dangdutan pada malam pertamamu di sana?

      Eh. Ngomong-ngomong, apakah kau menjadi lebih mandiri di sana? Atau dapat pengalaman baru nan unik? Kau selalu mengharapkan agar menjadi lebih mandiri dan bisa mengatur waktu setiap kali ada guru yang menanyakan kepadamu, apa harapanmu sehabis kembali dari desa Baran itu. Yah, apa yang kuingat memang kau mendapatkan banyak pengalaman baru. Ingat kan, ketika kau mengunjungi rumah tetangga sebelah, Pak Supri? Kau melihat kebelakang ruang dapur, kau melihat dia beternak ayam dalam jumlah yang besar, sang tuan rumah sendiri sampai lupa berapa persisnya jumlah ayam yang dia punya. Bahkan ada anak ayam yang baru menetas, dan kau merasa kau ingin untuk membawa pulang saja salah satu anak ayam yang bulunya begitu lebat, seperti hamster, dan lembut untuk dipegang. Kau juga mencuci piring-piring kotor bukan dengan spons seperti yang biasa kau lakukan di rumah, tapi pakai robekkan sabut kelapa. Memang, terkadang kau merasa jijik ketika kau harus menggunakannya karena terkadang menusuk jarimu dan juga tidak begitu bersih, namun kau tetap merasa nyaman dengan semua itu.

      Kadang-kadang sang kakek ataupun sang nenek mengeluh, daerah mereka itu kekurangan air. Hmm… yah, kubilang memang air yang bersih memang masih terasa susah… Aku bisa merasakan adanya minyak dalam air tersebut, sebersih apapun itu. Lalu, masalah kapel untuk ibadah yang jauh. Ya, mereka memang harus berjalan melewati jalan raya dan tanjakan yang tinggi. Aku mengerti itu. Dan kadang-kadang… Sang nenek juga bercerita padaku, kalau cucunya yang besar, Rossa, itu suka malas, tidak mau membantu pekerjaannya. Mana dia perempuan, lagi! Timpal sang nenek setiap kali dia mengeluh padaku. Ya, aku ingin membantu mereka, permasalahan mereka. Namun, apa yang bisa kubantu? Aku tidak bisa begitu mengetahui kehidupan mereka dengan begitu dalam…. Ah, coba saja kalau aku bisa tinggal disana lebih lama… Oh, di desa itu menurutku masih ada perbedaan pendapat dalam agama. Ya, memang dari apa yang selama ini kuketahui, seberapa akrabnya dan terbuka pikirannya suatu masyarakat ya, pasti sesekali juga terdapat perbedaan pendapat satu sama lain. Memang, manusia…

      Tapi, kau tahu? Orang-orang seperti ini, kau akan sering melihat mereka untuk tersenyum. Pernah mendengar pepatah, “Orang dengan senyuman yang terindah, mungkin saja telah memendam kesedihan yang paling sangat.”? Aneh. Kita, hidup di daerah kota, bergelimangan pemandangan mewah nan glamor, dibebani dengan berbagai tugas sekolah ataupun kantor dan juga dengan ritme kehidupan yang dinamis dan cepat, kita sering memasang raut wajah tanpa ekspresi, layaknya memakai topeng. Namun, orang-orang di desa, mereka masih harus memikirkan tentang bagaimana nasib sekolah generasi muda, masalah finansial keluarga… Namun mereka ramah, dan selalu tersenyum, mengenal satu sama lain, dan terakhir… bersikap positif dan percaya. Memang, kita yang tinggal di sisi tempat yang bagus, memang terkadang menaruh rasa curiga pada orang, bukan? Akuilah itu. Kita takkan mempercayai orang segampang itu. Mereka, orang-orang desa itu… Selalu percaya, berpikir bahwa dari setiap bayangan tergelap pasti ada sisi yang terlihat terang.

      Dan kau sepertinya memang betah berada di sana, kan? Walaupun dengan semua kekurangannya… Kau juga melihat sisi lain kehidupan orang-orang yang bukan berada di area kota. Kau juga melihat bagaimana cara orang-orang disana bersikap rendah hati dan ramah, bahkan pada kau, yang merupakan orang yang benar-benar asing bagi mereka. Kau tahu… Pengalaman paling indah di dunia ini tidaklah harus pengalaman yang terkesan megah, ataupun yang mewah, glamor, dan terkesan mahal. Simpel, namun penuh dengan keakraban. Pengalaman seperti ini terkadang bisa menyampaikan seribu satu pesan tak terbantahkan kepada dirimu sendiri. Membuat dirimu tertohok, bagaimana kehidupanmu itu sudah sangat LAYAK! Camkan itu! Kamu-kamu itu… Selalu saja, mengatakan kehidupan diri sendiri itu biasa saja, masih ada yang kurang! Tidakkah itu suatu bentuk penghinaan tersendiri bagi masyarakat yang misalnya saja masih terbelakang atau miskin? Seakan-akan secara tidak langsung kamu menyatakan betapa ‘kaya’nya dirimu dibandingkan dengan mereka, ‘menertawakan’ nasib mereka secara tidak langsung…


Astrid Emeralda/ XII-IPB/ 4

Kurang Panjang (?)

POSTED ON: @ 09.45 | 0 comments

      Aku hanya bisa berputus asa membaca catatanku semasa Live In. Makan, tidur, ke pasar, jalan pagi, jaga warung, kupas wortel, kupas bawang, kupas kacang, kupas telo..... Kenapa daftar kegiatan yang kulakukan di sana hanya terdiri dari kegiatan sehari-hari biasa dan kupas-mengupas? Mana pengalaman-pengalaman yang menstimulasi instrospeksi diri dan refleksi? Apa pula yang harus kuperas menjadi "karya sastra" untuk tugas Kewarganegaraan? 
      Kubaca lebih lanjut catatan minimalisku. "Mengembang. Karena ketika air mengenai kertas, ...eh, ketika kertas mengenai air, kertas akan mengembang karena air mengembangkan kertas.." Oh, ini jawaban seorang pelajar SD dalam sebuah kuis televisi yang kutonton di sana. Ia ditanya apa yang ia pikir akan terjadi jika air mengenai kertas, mengembang atau mengerut. Eniwei, jawabannya kucatat karena merupakan contoh menakjubkan noneksistensi logika, pola pikir melingkar dan kemubaziran kata tingkat canggih.. Dengan kata lain, dalam memunculkan inspirasi bagi tugas ini... Gak. Pen. Ting.
     Aku membalik kertas itu dan menemukan beberapa coretan tidak relevan lagi serta.... nomor telepon Bu Lasmi, yang kuminta sesaat sebelum kepulangan ke BSD. Aku ingat sekali hari terakhir, pagi terakhirku di Ngestirejo. Kami sudah siap berangkat ke Wonosari pada pukul setengah sembilan. Delapan anak perempuan (plus Pak Teddy) dieliminasi sekaligus pada minggu pertama mengakibatkan semua orang merasa tak rela melepas kepergian mereka. Profil Facebook dan alamat email dicatat, pin BB ditukar. Aku duduk dan menguap. Satu-satunya hal yang kurasa perlu kubawa pulang, nomor handphone Bu Lasmi, ibuku selama empat hari sebelumnya, sudah kudapatkan. 
     Pemilik nomor yang bersangkutan sedang mengobrol dengan Bu Rina, nyonya rumah di mana kami sedang berkumpul. Sepertiku, ia juga hanya menunggu saatnya kami harus pergi, momen yang ditunda-tunda pengucapan selamat tinggal yang tampaknya tidak akan selesai dengan segera. Orang-orang senang sekali memperpanjang perpisahan, padahal mereka sendiri yang suka menggemborkan betapa beratnya berpisah dengan yang dikasihi, dan seterusnya, dan seterusnya.. Mungkin mereka memang masochist secara alami. 
     Aku ingin menggaruk-garuk Bruno lagi, tapi tadi setelah mengelusnya selamat tinggal, sudah kucuci tanganku. Aku enggan mencuci tangan lagi karena jalan ke kamar mandi lumayan kotor. Lagipula, nanti aku tak akan bisa berhenti menggaruknya. Yang menjengkelkan, saat bus kami baru akan berangkat, anjing yang susah payah kudapatkan kepercayaannya itu malah tidur! Di siang bolong dengan keempat tungkai mencuat ke samping, tidur!
     Tunggu. Kenapa aku jadi membahas Bruno? Maaf, pembaca sekalian, saya out of topic. Mari kita kembali ke topik asal, Bu Lasmi. Tegar, pintar, sabar, praktis, dan sepertiku sendiri, tidak kelewat sentimental. Tidak heran dari tadi ia tidak terbawa emosi yang lain dan tidak meneteskan sebulir air mata pun. Tapi Anda perlu menjadi buta secara mental untuk tidak melihat betapa... betapa... Duh, apa katanya? Penyayang? Perasa? Perhatian? Ya itulah kurang lebih. Betapa perhatian Bu Lasmi itu terhadap kami, domba-domba nyasar ini. Mundur sedikit ke waktu lebih awal di hari itu: Bu Lasmi melambaikan tangan ke arah kami di depan rumahnya. Selagi berjalan, aku terus menengok ke belakang. Kulihat Bu Lasmi masih berdiri di luar dan menyaksikan kami berjalan menjauh. Ia berjalan ke ujung jalan supaya bisa terus melihat kami, lalu sedikit-sedikit bergerak maju.. sampai akhirnya ia memutuskan untuk mengikuti kami ke rumah Bu Rina. Hehe. Ketika kami akhirnya naik bus dari rumah Bu Rina, aku menunggu sampai saat terakhir sebelum memeluknya untuk terakhir kali. Pegangannya erat dan dan dadanya gemetar penuh emosi. Itulah satu-satunya saat beliau lepas kontrol atas emosinya. Kupikir itu benar-benar terakhir kali akan melihatnya, karena ia sudah berkata kalau ia tidak akan menemani Bu Rina & Co. mengantar kami ke tempat rendezvous dengan kelompok Pak Frans, di rumah Pak Sakim. Maka ketika aku melihatnya berdiri dengan Bu Rina di depan rumah Pak Sakim, aku merasa kaget. Ternyata beliau ikut Bu Rina naik mobilnya mendahului kami ke situ. Saat itu bus kami sudah dijejal melewati kapasitas seharusnya, jadi aku hanya bisa melambai dari jendela. Anehnya, momen itulah yang mungkin paling menyenangkan bagiku selama Live In ini. Saat Bu Lasmi, setelah mengulur-ulurkan leher untuk melihat ke dalam bus, akhirnya melihatku yang duduk di sisi jauh dan wajahnya tampak lega dan berseri. 
     Sepanjang perjalanan pulang tatapanku lengket ke jendela di sampingku, dengan giat merekam pemandangan bukit-bukit batu yang lewat, sementara anak-anak lain heboh meng-update pengalaman satu sama lain. Biarkan saja mereka asyik mengobrol. Bagiku memahat tempat itu dalam ingatanku --yang tidak begitu bagus, sayangnya-- lebih penting. Obrolan bisa dilakukan kapan saja. Lagipula, kenapa mengobrol jika ada bukit-bukit batu tepat di sebelahmu? Mereka jauh lebih menarik. 
     Ketika bus dari Wonosari berangkatlah baru aku mengirim SMS ke Bu Lasmi, niatnya keep in contact gitu loh. Tapi tiap membalas, selalu SMS Bu Lasmi terasa bernada pengakhiran. Mungkin hanya terasa seperti itu karena aku mengharapkan masih berbalas pesan dengannya di kemudian hari. Toh, saat kubaca lagi sekarang, biasa saja, tuh. 
     Lihat kan? Tanpa rong-rongan sekolah aku pun sudah berinisiatif tidak melupakan masa Live In. Tugas-tugas menulis seputar Live In malah berefek sebaliknya. Jadi bosan menulis soal Live In. Sudah diperas, dipuntir dan diperas lagi kisah itu sampai sumurnya kering. Mau nulis apa lagi? Inspirasiku mampet.
     Tapi sebelum tulisan ini diakhiri, aku diwajibkan menyelipkan refleksi terlebih dahulu. Para warga di desa (dusun?) Ngestirejo, dulunya bagian dari Tepus, menerima kami semua dengan teramat hangat (yaaa, kecuali yang setiap malam nyenterin tikus). Bu Lasmi saja bahkan baru diberi tahu tentang kedatangan kami pada siang hari sebelum kami sampai di rumahnya. Sebab itu beliau terus meminta maaf karena hanya bisa menyediakan seadanya. Yah begitulah, katanya, di desa memang semua apa adanya. Aku hanya dapat menjawab "Gak pa-pa, Bu", karena bingung untuk mengutarakan antara 1) justru itu yang dimauin sekolah; 2) masakan "apa adanya" ibu aja sudah enak sekali; 3) apa adanya itu sudah lebih dari cukup dan lebih dari yang bisa aku minta.
     Baru tinggal di rumahnya selama empat hari empat malam, kami sudah --dengan kata-kata Bu Lasmi sendiri-- dianggap anaknya sendiri. Sampai-sampai sebelum pulang aku masih diberi wejangan, meskipun kebanyakan isinya adalah komplain tentang betapa singkatnya persinggahan kami di sana. Biasanya aku membutuhkan waktu satu tahun untuk mengenal seseorang dengan baik. Padahal seseorang itu umumnya teman sekelas yang dijumpai setiap hari. Aku belum mengenal Bu Lasmi dengan baik. Bu Lasmi juga pasti masih mengiraku sebagai anak pendiam yang alim..... Tapi pertemuan yang hanya berlangsung 1/73 bagian dari satu tahun itu mengajarkanku bahwa walaupun mengenal seseorang memakan waktu yang lama, menumbuhkan rasa sayang kepada mereka tidak.
Ratna J.

Pengalaman Live In

POSTED ON: @ 09.28 | 0 comments


Beberapa jam sebelum keberangkatan kami ke Live in, saya masih sibuk merapikan segala keperluan yang mungkin akan saya gunakan saat live in, hingga akhirnya jam menunjukan pukul 2 siang, saya ke sekolah dan anak-anak yang lain sudah duduk rapi membuat barisan. Saya segera bergabung bersama barisan bus saya, seketika saya jadi sangat tidak sabar untuk segera berangkat ke desa. Suster Francisco masih sempat memberikan kata pengantar sebelum kita semua berangkat.

Tepat pukul 3, kami semua berangkat dari sekolah. Total, ada 4 bus yang berangkat. Pada awal-awal perjalanan, kami di bus 1 masih sangat bersemangat teriak-teriak bahkan bernyanyi-nyanyi. Namun, ketika kami sudah sampai di daerah Cikampek, dan ketika langit sudah semakin gelap, tidak sedikit dari kami yang sudah tidur terlelap. Tapi saya sendiri tidak bisa tidur, karena memang tidak terbiasa tidur di dalam bus. Selama perjalanan, saya hanya memperhatikan kanan dan kiri, yang sebenarnya hanya lampu-lampu yang terlihat. Setiap ada pemberhentian, saya selalu turun karena kaki yang sudah mulai terasa pegal. Pada akhirnya, karena terlalu lelah saya berhasil tidur sekitar pukul 3 subuh. Kemudian tiba-tiba ketika saya bangun, saya sudah sampai di Wonosari.

Sesampainya saya di Wonosari, saya segera ke toilet untuk mencuci muka, gosok gigi, dan lain-lain. Pertama kali saya pergi ke toilet, saya agak jijik dengan toiletnya, karena kotor. Namun, terbayang keadaan toilet di desa yang mungkin akan lebih parah dari toilet di Wonosari itu. Setelah saya kembali ke hall Gereja di Wonosari itu, kamu disodori makanan yang sudah dingin. Mau tidak mau saya pun memakannya, karena memang kami semua belum makan pagi. Setelah kami selesai makan, kami membuat barisan sesuai desa yang akan kami tinggali, saya sendiri akan tinggal di desa Tepus. Saat itu juga saya langsung mencari teman serumah saya, Arin. Setelah kami bertemu, kami segera memastikan barang-barang yang telah kami bawa. Dan ternyata semua sudah lengkap.

Ternyata, anak-anak yang akan tinggal di desa Tepus tidak akan naik truk, melainkan bus. Bukan bus bagus seperti yang kami naiki saat perjalanan dari Jakarta ke Wonosari, melainkan bus metromini. Selama perjalanan, lagi-lagi saya menikmati dinginnya udara di daerah itu dah saya pun mulai terkantuk-kantuk. Yang saya tahu, kemudian saya telah sampai di sebuah kapel di desa Tepus. Kami pun segera turun dari bus dan masuk ke dalam kapel. Di dalam kapel, kami mulai dipertemukan dengan orang tua asuh kami. Orang tua asuh saya dan Arin adalah Ibu Sukinah. Setelah selesai acara di kapel, saya segera diajak pulang oleh Ibu Sukinah ke rumahnya. Sesampainya kami di rumah, saya cukup kaget dengan keadaan rumah, karena rumah yang akan saya tinggali ternyata tidaklah buruk. Dan Ibu Sukinah segera menyiapkan makanan untuk kami. Bahkan sebelum kami sempat membereskan barang bawaan kami.

Kemudian kami pun makan, dan ternyata makanannya sangat enak. Setelah makan, saya dan Arin kemudian tidur karena masih lelah pada saat perjalanan. Kami bangun sekitar pukul 5 sore. Dan mulai membantu Ibu Sukinah untuk memasak dan lain-lain. Pada awalnya, Ibu Sukinah tidak mengijinkan kami untuk membantunya, namun saya dan Arin memaksa. Hingga akhirnya ia mengijinkan kami untuk membantunya melakukan kegiatan rumah. Mulai dari memasak, menyuci piring, menyiapkan makanan, memberi makan hewan ternak, hingga pergi ke ladang. Namun kami pergi ke ladang hanya 1 kali, sisanya kami habiskan waktu dengan berbincang-bincang dengan Ibu Sukinah dan anaknya, dan membantunya memasak.

Hal itu terus berulang selama kami berada di desa Tepus. Namun, saya merasakan rasanya tinggal di desa. Dimana antar keluarga memiliki rasa kekeluargaan yang besar satu sama lain. Setiap orang yang ada di desa mengenal satu sama lain. Bahkan tidak jarang ada orang yang bertamu ke rumah Ibu Sukinah, hanya sekedar untuk bertemu dan menanyakan kabar. Beruntung, karena saya dan Arin bisa berbahasa Jawa sedikit banyak. Namun kami meminta Ibu Sukinah untuk mengajarkan kami bahasa Jawa Kromo, dan ternyata sangat sulit.

Kemudian tibalah waktunya  bagi saya dan Arin untuk pulang ke Jakarta. Sehari sebelum kami pulang, kami sudah merasa sangat berat mengingat bahwa kami akan segera pulang. Bahkan Ibu Sukinah pun beberapa kali mengatakan bahwa ia akan merasa kesepian setelah kami pulang. Tidak sekali saya menangis saat teringat bahwa saya akan segera pulang, begitupun Arin. Keesokan harinya, ketika bangun pagi, kami segera menyiapkan barang-barang kami agak tidak ada yang tertinggal. Ibu Sukinah sudah memasakkan makanan untuk kami, dan ia memaksa kami untuk makan banyak agar tidak kelaparan saat perjalanan pulang, jadi kami pun makan agak banyak, walaupun perut ini rasanya tidak ingin makan.

Hingga tiba saatnya kami untuk pulang, Ibu Sukinah pun menangis dan memeluk saya dan Arin. Sampai ketika kami sudah sampai di kapel, saya masih menangis, hingga teman-teman yang lain menanyakan apa yang terjadi. Lalu, ketika saya kembali lagi ke Wonosari, saya langsung bertukar cerita dengan teman-teman yang lain. Setelah acara di Wonosari telah selesai, kami naik ke dalam bus dan siap-siap pulang ke BSD. Rasanya sungguh berat meninggalkan Wonosari dan desa Tepus. Selama perjalanan pulang, badan saya terasa tidak enak, mual dan pusing. Jadi yang saya lakukan hanya tidur selama perjalanan, ketika saya terbangun saya segera tidur lagi, terbangun lagi tidur lagi. Tiba-tiba saya sudah sampe di daerah Bekasi. Lalu sekitar pukul 6 pagi kami sudah sampai di sekolah, lalu kami pun pulang. Sekitar pukul 7 malam, saya menelepon Ibu Sukinah dan anaknya, Mas Lu. Ibu menangis lagi, karena teringat saya, katanya. Saya pun jadi ikut menangis, karena Ibu bilang “maaf ya ibu gak antar kamu kemarin, soalnya ibu gak tega liat kamu pergi.” Lalu ibu sering sekali bilang “kamu belajar yang bener, biar hidupnya enak gak susah kaya ibu di desa.” Sampai sekarang pun saya masih sering sms-an dengan Mas Lu, menanyakan keadaan Ibu dan Mas Lu. Kata Mas, “ibu udah gak pernah nangis, tapi sering bilang kangen sama kamu sama Arin.” Saya merasa pengalaman yang saya dapatkan di live in benar-benar berguna untuk saya. Tidak bisa di jelaskan memang, namun saya sendiri merasa mendapatkan manfaat dari acara live in ini.


Angelika Tessa Cornelia XII-IPB / 3



Ayunan Langkah di Tanah Berbatu

POSTED ON: @ 09.09 | 0 comments

Pagi masih belia, namun perlahan mentari telah berjejak menuju puncak singgasananya, membagikan cahaya pada bumi yang masih membisu. Kami pun seakan tak mau kalah bersaing dengan gerak cekatan mentari kala mendaki perbukitan yang membatasi dusun Semugih dan ladang penduduk. Ada Bu Sudar, Pak Ferry, Stella, dan diriku sendiri. Tak terbayang 'kan kumulai hari dengan sebuah kemustahilan: mendaki bukit menuju ladang.
  Bu Sudar dengan kerenyahan pada suaranya berceloteh mengenai bukit tersebut. Ia bilang penduduk desa Baran, termasuk dusun kami, Semugih, menamai bukit itu Gunung Terbang. Akibat ketinggian bukit yang cukup menjulang sehingga pendakinya serasa menaiki pesawat terbang, katanya.
 Meskipun sembari berkisah dengan riang, segala kata-kata yang terlontar darinya tak sekalipun memperlambat langkah Bu Sudar. Kakinya berayun lincah melintasi medan yang cukup berat, khususnya bagi wanita berusia kepala enam seperti dirinya. Bu Sudar kerap merendah dengan mengatakan bahwa stamina itu dibangun tahunan mengingat dirinya telah terbiasa menjelajahi perbukitan itu sejak kecil.
 Aku sendiri berupaya menutupi rasa lelah yang mulai membuncah dalam diriku. Semenjak kecil, fisikku memang cenderung lemah. Aku selalu kesulitan dalam memenuhi segala aktivitas yang menuntut stamina yang prima. Jika terlampau kecapekkan, tak jarang tubuhku malah ambruk. Seringkali pula kecerobohanku turut memprovokasi kelemahan fisikku. Entah mengapa, diriku mudah sekali terjatuh lantaran tersandung ataupun terpeleset.
Ketakutan pun pada akhirnya membuahkan kewaspadaan. Kewaspadaan pun membekukan segalanya. Sepanjang perjalanan, mataku kian melekat pada sepanjang tanah perbukitan yang kususuri. Mencegah bila ada batu atau tanjakan yang 'hendak' menjegalku. Mulutku pun tetap membungkam kala menemui tanjakan sulit yang, entah bagaimana, dengan mudahnya dilalui oleh Bu Sudar, Stella, ataupun Pak Ferry.
Kuyakinkan diriku bahwa aku akan baik-baik saja. Semua hanya perlu tahu bahwa aku mampu dan tak ada yang perlu meresahkan apapun, terutama meresahkan diriku. Siapa yang suka dirinya menjadi beban bagi orang lain, terutama di tengah kenikmatan mereka? Siapa yang suka jadi pengusik dengan segala kelemahan pribadinya?
Maka biarkan deritaku jadi deritaku! Perjalananku jadi perjalananku seorang. Dan kelamaan kuamati semakin banyak batu dan tanjakan yang menyambut perjalananku.
"Mbak Vena capek, ya?"
Pertanyaan Bu Sudar pun sontak membuyarkan lamunanku dan mengalihkan pandanganku sejenak dari semua batu, tanah, dan tanjakan yang sedari tadi menemani perjalanan. Aku pun hanya menggeleng pelan seraya menyertakan sesabit senyum untuk menguatkan dustaku. Kukerahkan segala kemampuanku beraktingku senatural mungkin. Sialnya, kondisi biologisku pun tak mendukung: peluh yang membanjir, wajah yang memucat dan nafas yang terengah.
Bu Sudar pun hanya tersenyum dan menyarankan kami semua untuk beristirahat sejenak. Disodorkannya sebotol air mineral, dan cemplon, buatanku dan Stella,yang memang telah disiapkan sebagai bekal kami sepanjang perjalanan. Sembari menenggak air, kusapukan pandangan pada pemandangan yang terhampar di bawah perbukitan. Perumahan penduduk beserta barisan pepohonan yang nampak kecil dari kejauhan begitu elok dijamah sinar mentari. Dapat kulihat Gua Braholo, gua bersejarah yang dulunya pernah menyimpan fosil-fosil masa lampau, menghiasi perbukitan di seberang.
"Dari sini pemandangannya bagus juga, ya," celetukku spontan.
"Lha, daritadi jalan, kan, emang pemandangannya begini," sahut Pak Ferry sembari menjeprat-jepret pemandangan itu dengan kamera yang digantung di lehernya.
Aku terhenyak sesaat. Sedari tadi yang kulihat hanyalah...batu, tanah kering, dan tanjakan. Bila tadi kualihkan sebentar pandanganku, mataku kan bertemu penyegaran berupa pemandangan yang jarang kujumpai di perkotaan.
Kami pun melanjutkan perjalanan setelah sepuluh menit berehat. Selanjutnya, aku seakan enggan melewatkan pemandangan-pemandangan menarik di sekitarku. Perlahan kulupakan segala macam batu, tanjakan atau jegalan-jegalan dalam wujud apapun. Kudongakkan kepalaku sembari melangkah. Terkadang kudapati Stella, yang memang selalu berjalan di depanku, menjulurkan tangannya padaku. Saat itulah tercetus sebuah peringatan mengenai tanjakan yang melintang di depanku. Begitulah yang terjadi seterusnya. Peringatan dan uluran tangan kian bersusulan sepanjang perjalanan sehingga jarak sekitar empat kilometer itu pun terpungkasi.
Sesampainya di ladang pun tenagaku seakan masih membeludak. Semangatku terpompa untuk menyambut aktivitas baru yang bisa kulakukan di sana untuk menolong Bu Sudar. Nyatanya, kondisi ladang sendiri hampir melompong akan hasil bumi akibat musim kemarau berkepanjangan. Hanya ada sedikit kacang panjang yang bisa kami petik...
"Ya, memang begini, Mbak," tukas Bu Sudar perlahan. "Kalau kemarau, ya, nggak panen. Waktu itu ketelanya sudah dipanen semua."
Bu Sudar pun mulai bercerita mengenai hasil ladang yang belum tentu selalu melimpah. Jarak antara ladang dan desa yang cukup jauh pun kerap menyulitkan pengangkutan hasil panen sehingga diperlukan penyewaan transportasi yang cukup meraup biaya. Sempat terbesit dalam benaknya untuk menjual ladang tersebut, namun teringat amanat suaminya sebelum wafat untuk mempertahankan ladang tersebut.
"Amanat orang sebelum meninggal itu harus dijaga, Mbak," jelas Bu Sudar padaku dan Stella seakan sadar bahwa wujud keprihatinan telah menggantung di ujung lidah.
Kami pun akhirnya memulai perjalanan pulang dengan memboyong segelintir kacang panjang. Aku membayangkan bahwa bawaan yang ringan itu seakan menjadi beban berat tertentu bagi kondisi finansial keluarga Bu Sudar. Ketela, hasil utama ladang pun tak dapat kami boyong kali ini.
Dari kejauhan, kudengar seseorang meneriakkan nama Bu Sudar. Bu Sudar pun lantas melambaikan tangan pada seorang petani tua yang tengah berehat di ladangnya, yang letaknya tak jauh dari ladang Bu Sudar. Kami pun serempak menghampirinya. Rambut yang keperakan serta kulit yang telah berkerut sana-sini merupakan jejak usianya yang telah melintasi lebih dari enam puluh tahun. Tak ayal, hari-harinya tetap tak lepas dari cangkul, ladang, kemarau dan jarak panjang yang membatasi rumahnya dan ladang. Kala kami menghampirinya, senyumnya mengembang seakan hendak memamerkan gigi-giginya yang telah banyak tanggal. Mulailah ia bertukar kata dengan Bu Sadar menggunakan bahasa Jawa yang hanya bisa kuartikan setengah-tengah.
"Baru dari ladang, Mbak?" tanyanya ramah padaku dan Stella.
"Inggih, Mbah," jawab kami sekenanya.
"Cantik-cantik disuruh naik gunung," ujarnya memecah tawa. "Sini, Mbah mau ngasih ketela..."
Aku dan Stella lantas melontarkan kekagetan. Bu Sudar pun sempat menolak secara halus, namun si Mbah itu pun malah sibuk mencabut ketela dengan perkakasnya. Jadilah ketela, yang awalnya hanya menghiasi angan, ikut meramaikan bakul Bu Sudar. Ketela, yang mungkin harganya rendah di pasaran dan tetap menjadi komoditas utama desa Baran ini menjadi milik kami cuma-cuma. Rasa bersalah dan iba pun sempat menggantung di hatiku membayangkan kebaikan si Mbah mungkin malah menghimpit pemasukannya sendiri hingga kata-kata Bu Sudar kembali mengetuk batinku.
"Sudahlah, yang namanya rezeki jangan pernah ditolak," ujar Bu Sudar ringan. "Toh, kita hidup bersama juga. Si Mbahnya memang baik, nanti kita kasihkan sesuatu juga."
Aku mengiyakan dan kurasakan hatiku merubah arahnya yang semula. Yang kutahu selama ini kebaikan ialah kebungkaman, kerelaan berjuang lebih untuk tidak membebani, merupakan tugasku pribadi untuk melayani. Semakin padat beban yang menjejali hatiku. Aku tak mau menggaduhkanmu hingga seakan kulupa kehadiranmu sendiri...
Tetapi kala kulihat dusun Semugih, desa Baran, Gunungkidul, kudapati kebaikan layaknya siklus bersusulan antara masyarakat yang saling melengkapi dan mengucur di atas tanah Baran. Bersama saudara-saudaraku kudapati kehidupan Baran tak lagi kering maupun berbatu. 
Maria Vivekaviarti
 seberkas kenanangan dari Baran





Mereka Lebih Kaya dari yang di Kota

POSTED ON: @ 08.25 | 0 comments


Biasa. Itu yang aku rasakan sebulan sebelum live in. Dua minggu sebelum live in. Masih biasa. Aku tak mencemaskan soal air seperti yang dialami temanku. Ia khawatir air bersih tak akan tersedia. Kupikir itu bisa diakali dengan tissue basah. Seminggu sebelum live in. Aku bahkan belum menyiapkan apa-apa saja yang harus kubawa. Temanku tetap cemas soal air bersih. Aku tetap merasa biasa. Aku tidak merasa berat untuk pergi, tapi bersemangat juga tidak. Benar-benar biasa. Di hari keberangkatan pun seolah-seolah aku sedang pergi ke rumah teman saja. Tak ada perasaan takut, gembira, atau apapun. Perjalanan 14 jm ke Wonosari terlewat begitu saja. Aku mulai merasa lelah dan cepat-cepat ingin sampai di rumah keluarga yang akan kutinggali agar bisa beristirahat.

Desa yang akan kutinggali, Tepus, berada kira-kira 20 menit jauhnya dari Wonosari. Sepanjang perjalanan, yang terlihat hanya ladang dan rumah-rumah sederhana di kiri-kanan jalan. Dan di sinilah aku mulai merasa kebat-kebit. Ladang-ladang itu benar-benar terlihat kerontang. Rumah-rumah yang ada terbuat dari jerami atau semen. Belum ada yang menggunakan tembok. Dalam hati aku mulai berpikir apakah aku tidak akan mandi selama 5 hari ke depan? Sampai di balai desa, kami diberi pengarahan dan mulailah kami diantar satu-persatu ke rumah keluarga yang akan kami tinggali bersama.

Aku dan kelima temanku diantar ke rumah Pak Slamet, kepala keluargaku dengan menaiki mobil Pak Wardiyo, ayah dari Pak Slamet sendiri. Saat masuk ke rumahnya, aku merasa takjub sendiri. Rumah itu bisa dibilang sudah sangat bagus. Ada ruang keluarga, ruang duduk, teras belakang  yang nyaman dan sejuk, dapur yang bersih, lantai keramik yang bagus. Aku jadi merasa terbalik, seolah-olah aku yang orang desa dan terpana melihat rumah mapan. Aku juga tak perlu khawatir soal air karena keluarga Pak Slamet sudah menggunakan air PAM. Keluarga Pak Slamet menyuruh aku dan Felicia, temanku, untuk tidur siang dulu karena kami pasti masih lelah karena perjalanan jauh.

Maka setelah mandi, kami tidur siang sebentar. Setelah itu, kami membantu keluarga Pak Slamet menguliti singkong. Kami merasa agak aneh melihat tiba-tiba ada begitu banyak orang di teras Pak Slamet. Berapa sebetulnya jumlah orang dalam keluarga ini? Aku bertanya-tanya dalam hati. Kami mulai duduk dan mengambil pisau untuk mengupas singkong. Tidak begitu sulit sebenarnya, karena aku pun kadang-kadang melakukannya di rumah, tapi melihat ibu-ibu yang sudah tua pun bisa melakukannya lebih cepat dan lebih rapi dari padaku, mau tak mau aku merasa gengsi juga. Kami banyak berbincang-bincang sambil melakukan pekerjaan ini.

Dari sana aku tahu bahwa masyarakat di desa ini sangat menjunjung tinggi kekeluargaan. Mereka setidaknya tersenyum ketika bertemu. Mereka membagi hasil panen pada yang tak mampu. Aku jadi berpikir, akankah orang-orang di kota melakukan hal seperti itu? Karena semua juga tahu, kepentingan masyarakat kalah di bawah kepentingan individu. Aku merasa malu. Dari sana aku juga tahu bahwa di desa ini, agama Katolik adalah agama minoritas. Agamanya, bukan warganya. Mereka tidak merasa bahwa mereka adalah warga minoritas. Dan begitu pula warga yang non-Katolik tidak mengucilkan mereka. Aku sempat bertanya apakah agama menjadi hal yang penting dan sering menjadi masalah di sini.

Pak Slamet dan istrinya, Bu Ana menjawab tidak dengan tegas. Mereka tidak pernah meributkan masalah agama di desa. “Kami tidak mempermasalahkan si itu agamanya apa, si ini agamanya apa. Kami tidak pernah menimbang-nimbang jika akan membagi hasil panen, apakah kami akan membaginya dengan warga yang seagama saja. Karena pada dasarnya kami saling membutuhkan.” Aku sungguh terpana dengan kalimat terakhir yang mereka ucapkan itu. Mereka menyadari bahwa mereka adalah makhluk sosial dan mempertahankan eksistensi mereka dengan saling membantu, bukan menjatuhkan. Aku juga kemudian mengetahui orang-orang yang berkumpul mengupas singkong itu bukan keluarga Pak Slamet semua. Mereka adalah tetangga-tetangganya. Desa ini benar-benar punya semangat gotong royong, batinku.

Malam itu, kami diajak nonton Jathilan, kesenian tradisional yang sedang diadakan dalam rangka perayaan setelah musim panen. Aku sangat bersemangat karena aku belum pernah menontonnya secara langsung. Aku dan kelima temanku menaiki mobil Carry dengan bak terbuka dan kami duduk di bak terbuka itu. Aku mengakui kalau di kota, kami akan terlihat seperti orang akan berdemo atau semacamnya dan mungkin menganggapnya kampungan. Tapi di sini, ini adalah salah satu hal yang selalu kami nantikan. Udara malam yang dingin menyapu wajah dan walaupun kami memakai jaket, kami bisa merasakan angin sejuk yang jarang sekali kami dapatkan ketika di kota. Aku menghirup udara malam itu sebanyak mungkin sambil melihat kanan-kiri jalan yang tampak seperti hutan. Pohon-pohon tampak hanya seperti bayangan. Kami dapat melihat bulan dan bintang-bintang dengan jelas dan awan yang setengah-setengah menutupinya.

Sesampainya kami di tempat pertunjukan, ternyata sudah ramai. Kami berusaha menyelip-nyelip di antara para penonton dan berdiri berdekatan agar tidak hilang di tengah keramaian. Terus terang saja, aku mulai kehilangan semangatku untuk menonton. Rasa semangat itu tergantikan oleh kekesalan yang muncul karena hampir semua orang di area yang terbuka itu merokok. Aku terus-menerus mengipas dan menutup hidung dan mulut dengan lengan jaket. Sebelum pertunjukan selesai, aku dan teman-temanku sudah menunggu di luar karena tidak tahan lagi. Asap menguar dari orang-orang di depan, belakang, kanan dan kiri kami.

 

Malam berikutnya, kami diajak menonton wayang. Aku hanya bisa berharap, semoga orang yang merokok tak akan sebanyak malam sebelumnya. Malam itu, aku tidak kesal karena asap rokok. Memang banyak orang yang merokok, tapi kali ini kami duduk dengan banyak ibu-ibu dan tak ada yang merokok di antara mereka. Malam itu, aku dibuat terheran-heran karena penontonnya yang sama membludaknya dengan kemarin. Jujur, aku sudah merasa mataku tak kuat menahan kantuk karena pertunjukan wayang belum dimulai juga, dari awal acara, mereka terus saja menyinden. Aku sudah membuktikan teori dalam pelajaran Antropologi bahwa pertunjukan kesenian di Indonesia jarang diminati lagi salah satu alasannya adalah karena durasinya yang lama, dan lagu serta gerakan yang diulang-ulang. Belum lagi mereka juga menggunakan bahasa Jawa yang aku tak mengerti. Tetapi sepulangnya dari sana, aku merasa puas bisa menontonnya dan ini menjadi refleksi pribadiku.

Mungkin aku merasa jenuh saat menontonnya, tetapi tidak dengan masyarakat di sana. Itu adalah hiburan buat mereka. Dan mereka secara langsung telah mempertahankan dan mengembangkan kesenian itu agar tidak punah. Aku belajar untuk lebih menghargai budaya negeri ini. Di antara kami, kaum muda yang lebih senang dengan kesenian modern, masih banyak yang berduyun-duyun untuk menonton wayang hingga pukul 5 pagi. Begitulah, kesenian tradisional diminati di tempat seperti ini, namun tak berkembang ketika dibawa ke kota.

Ini bukanlah bayanganku tentang live in. Persepsi kita selama ini tentang live in adalah hidup susah, bekerja keras dan berpanas-panas, dan sejuta hal lain yang belum apa-apa sudah menyurutkan semangat dengan mendengarnya saja. Aku setuju dengan apa yang dikatakan oleh Pak Wardiyo. Bahwa jika kita memang ingin belajar dari orang di desa, tak perlu dengan hidup susah dan menderita. Kita dapat tetap menjalankan aktivitas dengan nyaman dan yang terpenting, kita mendalami dan meresapi karakteristik orang-orang desa yang penuh keakraban, toleransi dengan kepedulian sosial yang tinggi, dan belajar untuk saling menghargai.

Aku tidak merasa homesick saat di sana. Mungkin karena aku juga menyukai rumah yang kutinggali. Bukan karena rumahnya sudah baik, sehingga terasa seperti rumah sendiri. Tapi karena aku merasa seperti itulah seharusnya sebuah rumah. Ada bapak yang menjaga dan memastikan kita tetap merasa aman. Ada ibu yang memasak makanan untuk anak-anaknya tiap pagi, siang, dan malam. Ada orangtua yang menasihati kita agar kita belajar dengan baik. Dan bukannya asal datang ke sekolah, menyontek PR dari teman, ulangan, remedial, pulang.  Lebih dari itu, mereka menginginkan kami sukses di masa depan yang terpenting, kami tidak melupakan orang kecil yang masih butuh bantuan.

Bertahun-tahun lagi aku mungkin akan lupa apa saja yang kulakukan di desa ini, makanan apa yang telah kucoba, dan jalan-jalan yang kulalui, tapi aku tak akan lupa pada nasihat yang diberikan oleh orangtua angkatku di sana. Ketika aku pulang, aku memikirkan hal-hal yang sudah kujalani. Sebetulnya, orang-orang di desa tak jauh berbeda dengan orang kota. Mereka bisa hidup dengan layak. Memang tak semua keluarga seperti ini, tetapi yang membedakan mereka dengan orang kota adalah mereka masih menyempatkan diri bersyukur atas apapun yang mereka dapatkan. Sedangkan seringkali orang kota meminta lebih. Orang-orang di desa hidup berkecukupan dalam kesederhanaan.

Mungkin orang-orang di kota pandai dalam berbisnis. Mereka bisa meluaskan sayap perusahaan, mengatur keuangan, dan lain-ain. Tapi orang desa tahu cara merawat dan menjaga alam mereka. Mereka tahu apa yang harus dilakukan ketika musim pancaroba, mereka tahu apa yang akan dilakukan jika gagal panen. Karena mereka mempunya prinsip, Tuhan tak akan membuat kami kesusahan. Jika gagal panen, masih akan ada persediaan. Orang-orang desa mendekatkan diri mereka tidak hanya pada sang Pencipta, tapi juga dengan orang di sekitar mereka, orang yang membutuhkan. Orang kota tidak lebih kaya dari mereka. Uang hanyalah benda yang menunjang kemakmuran kita dari luar. Tetapi hati nurani membuat kita menjadi manusia seutuhnya dari dalam.


Alexandra Vanessa XII IPB-1

← Older / back up
Blog Anak Bahasa